***
Sebuah Harapan Akan Pendidikan
Foto: rosemild |
Jika kita melihat tuntutan parlemen belanda terhadap pihak kerajaan untuk diberlakukannya Politik Etis ini sebetulnya sunguh mulia karena dilatar belakangi oleh tulis Van Deventer yaitu Een Ereschuld (hutang kehormatan) pada tahun 1899.
Dan yang perlu kita ketahui disini adalah bahwa sebetulnya kaum Liberal Belanda seolah diam tapi menyetujui akan usulan Van Deventer tersebut. Hal ini dirasa dengan berlakunya pendidikan di Hindia Belanda akan mengurangi ongkos produksi dalam permasalahan gaji pegawai perusahaan-perusahaan perkebunan di Hindia Belanda saat itu. Lah kok seperti itu ?
Alasannya adalah bahwa rakyat pribumi selama ini hanya bekerja pada sektor buruh rendah yang tidak kompetitif dan produktif. Meskipun pasca berlakunya Politik Pintu Terbuka yang ditandai oleh pemberlakuannya UU Agraria 1870. Hal tersebut tidak menambah kesejahteraan rakyat meskipun mereka memiliki tanah mereka, hal itu berlaku karena mereka diwajibkan menyewakan tanahnya selama 70 tahun dengan bayaran yang kecil, sehingga mereka tidak dapat memenuhi kehidupan sehari-hari dan harus bekerja sebagai buruh.
Ini lah momen yang dimanfaatkan kaum liberal di Hindia Belanda untuk menggantikan pekerja-pekerja eropa yang meminta mahal dalam kepegawaian dengan diganti dengan tenaga pribumi hasil politik etis yang dianggap produktif dan kompetiti, namun bisa dibayar dengan harga yang murah. Hal ini awalnya dapat dirasakan atas hasil lulusan OSVIA yang bekerja kepada pemerintah.
Realitas Kaum Pribumi
Petani di Karang Tengah, Jawa Barat, 1895. Foto: Tempo/Dok. Tropenmuseum
Namun realitas yang diharapkan sangatlah berbeda. Pemberlakuan politik etis tidaklah sesuai yang diharapkan. Edukasi yang diharapkan harus dibayar dengan biaya yang cukup mahal, karena meskipun pemerintah membiarkan orang pribumi untuk bersekolah, tetapi biaya sekolah yang dibebankan tidaklah dapat mereka sanggupi.
Dalam suatu kesempatan pada kuliah rutin Sejarah Indonesia, Dr. Muhammad Iskandar, M.Hum. Sejarawan Universitas Indonesia mengatakan, � Banyak warga pribumi yang tidak dapat bersekolah atau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (selain sekolah rakyat).
Mahalnya biaya pendidikan yang dipatok sebesar 300 f (gulden) oleh Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu, sedangkan masyarakat pribumi pada saat itu hanya berpenghasilan rata-rata 7 f yang dapat kita setarakan dengan hasil panen padi sejumlah 2,5 kwintal.
Hal tersebutlah yang dinilai bahwa tidak semua kalangan masyarakat pribumi dapat mengenyam pendidikan yang tinggi, bahkan untuk mengenyam pendidikan di sekolah rakyat (SR) pun sedikit.
Kebanyakan pribumi yang bersekolah di sekolah belanda ialah anak seorang bupati setempat. Alternatif lainnya adalah menyekolahkan anaknya di Australia karena biayanya yang murah, hanya kurang dari 50 f. Itupun masih banyak yang tidak sanggup.
Bumerang Bagi Belanda
Dengan demikian bahwa keinginan belanda untuk memperoleh tenaga kerja yang murah dan kompetitif sepertinya hanyalah hayalan tamak dan isapan jempol. Lagi-lagi belanda ingin memperoleh keuntungan, namun tak mau berkoran bahkan untuk masalah sekolah ini.
Hingga akhirnya dengan perlakuan belanda yang semacam ini justru menciptakan musuh jangka panjang, ketimbang pegawai murah yang diharapkan dalam penyelenggaraan politik pintu terbuka. Musuh tersebut merupakan golongan pribumi kaya yang selama ini merupakan bagian dari golongan pangrek praja (aparaatur pemerintahan) yang anaknya bersekolah di perguruan tinggi Belanda di Eropa. Kebanyakan golongan pelajar ini akan kembali ke Indonesia setelah selesai mengenyam pendidikan di Negeri Belanda dengan membawa ideologi-ideologi yang mereka kenal di Eropa untuk menjadi semangat perjuangan di Hindia Belanda.
Mereka membawa pemikiran-pemikiran ideologis yang menurut mereka tidak pernah dilakukan di Hindia Belanda, ideologi tersebut anatara lain : liberalisme, demokrasi, sosialisme, dan komunisme. Hingga akhirnya mereka akan mengenal arti nasionalisme kebangsaan untuk menuntut suatu kedaulatan yang selama ini mereka sadari dirampas pemerintah Hindia Belanda. Golongan-golongan tersebut dikenal dengan istilah kaum terpelajar terbagi menjadi dua, yaitu :
- Elit Politik : golongan terpelajar yang mengerti sebuah pemikiran yang ideologi yang mencita-citakan sebuah kebebasan dari belenggu kekuasaan asing yang dalam mencapai tujuannya dengan cara �belajar� untuk mencerdaskan bangsa dan mengerti akan jati diri bangsa.
- Elit Fungsional : golongan terpelajar yang menginginkan suatu posisi yang strategi dalam birokrasi Pemerintahan Hindia Belanda dan bekerja untuk menyelenggarakan pemerintahan Hinda Belanda dan bekerja untuk menyelenggarakan pemerintah sesuai dengan pemerintahan.
Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa rencana Belanda dalam penyelenggaraan pendidikan guna mendapatkan tenaga kerja murah cenderung menghasilkan musuh yang nyata. Meskipun tak dapat dipungkiri banyak pula pribumi yang memilih bekerja sebagai pegawai belanda, ketimbang memulai perjuangan.
Sumber :
- Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia. Diterjemahkan oleh Ny. Zahara Deliar Noer : PT Dunia Pustaka Jaya
- Jawaban UAS Mata Kuliah Sejarah Indonesia. 2016. Imam Maulana (1606880232). Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar