Jumat, 21 April 2017

Liberalisasi Ekonomi Domestik Indonesia


Sebelum kita membahas mengenai �Liberalisasi Ekonomi Domestik di Indonesia.� Kita harus mengetahui mengenai apa itu ekonomi domestik? Ekonomi domestik adalah sebuah sistem perekonomian yang berfokus pada orientasi pembangunan pasar dalam negeri, tanpa terlibatkan arus uang, arus lintas barang dan jasa, serta permodalan ekonomi yang bersumber dari luar atau bersifat global. 

Pembangunan ekonomi domestik berfokus pada pengembangan jual beli, pembangunan infrastruktur ekonomi dan permodalan yang berasal dari dalam negeri itu sendiri yang diperuntukan sebatas pemenuhan kehidupan masyarakat dan kemandirian ekonomi.


Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1959 berpidato mengenai Manifestasi Politik (Manipol) yang diakronimkan dengan istilah USDEK kepanjangan dari Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. 

Melalui Dektir Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi awal kembalinya hegemoni Presiden Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang berkuasa secara penuh sebagai pemimpin negara dan pemerintahan. Setelah sebelumnya kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh Perdana Menteri dinilai kurang berhasil disebabkan kegaduhan politik di Parlemen yang berlarut-larut. Hingga akhirnya Presiden Soekarno bertindak mengambil alih kekuasan secara utuh.

Ekonomi Terpimpin yang menjadi poin di dalam Manipol/USDEK, merupakan gagasan Presiden Soekarno yang ingin menciptakan sebuah perekonomian yang mandiri dan berdikari. Presiden Soekarno dalam mengembangkan sistem perekonomiannya, menekankan pada pembangunan domestik dan perdagangan yang tertutup secara umum. 

Presiden Soekarno berusaha membangun sistem ekonomi domestik yang tangguh dan berdikari dengan perombakan struktur dua pilar produksi : pertanian dan industri. Dalam kerangka sosialisme Indonesia, Presiden Soekarno didukung oleh PKI dan sayap kiri lainnya melaksanakan Reforma Agraria. Disaat bersamaan Presiden Soekarno begitu bersikeras teguh membangun kedaulatan pangan. Hal ini berdasarkan data, bahwa tahun 1961, mayoritas pekerja Indonesia bekerja di sektor pertanian  sekitar 75 persen). Dan menyumpang kontribusi yang cukup signifikant sekitar 52,9 persen, terhadap PDB Indonesia. 
Pak Harto dan Ibu Tien Soeharto. (Foto: Pusdiklat Kementerian Luar Negeri RI)
Kecenderungan ini cukup berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Soeharto dimasa pemerintahannya. Mulai terbukanya bantuan dan investasi asing yang bertujuan meningkatkan pembangunan Indonesia. Presiden Soeharto dengan "Revolusi Hijau" berusaha untuk menggenjot produktifitas dan intensifitas pertanian. 

Meskipun hal ini terlihat senada dengan sikap Presiden Soekarno untuk mengembangkan pertanian. Akan tetapi cara yang dipergunakan berbeda. Presiden Soeharto cenderung untuk menarik secara perlahan investasi asing untuk memodali modernisasi alat-alat pertanian melalui hutang luar negeri dan bantuan negara-negara kapitalis, misalnya Amerika Serikat.

Booming minyak (oil boom) pada 1970-1980n. Membuat Presiden Soeharto mulai sedikit mengencangkan sabuk pengaman atas investasi asing terhadap perekonomian Indonesia pada saat itu. Dengan melonjaknya harga minyak pada dekade 1970-1980, Presiden Soeharto mulai melirik sektor baru untuk ambil bagian dalam pembangunan Indonesia. 

Industrialisasi menjadi tindakan Presiden Soeharto selanjutnya dalam usaha modernisasi dan globalisasi perekonomian dengan didukung oleh sejumlah proyek pembangunan dan fasilitas teknologi tinggi.

Pak Harto meninjau sistem penyimpana beras kedap udara (Foto: Caraka)
Pemanfaatan oil boom sebagai penggerak industriaslisasi mulai menunjukan penurunan performa pada  awal tahun 1980n. Harga minyak mulai terjun bebas pada tahun 1982, dari sekitas AS$37 per barel pada 1981 menjadi hanya AS$13 per barel pada tahun berikutnya. 

Pendapatan pemerintah dari sektor minyak turun drastis dari AS$10,6 miliar pada 1981 menjadi AS$7,2 miliar setahun kemudian pada 1982. Pemerintah akhirnya terpaksa menunda sejumlah mega proyek industri dan menyadari bahwa pembangunan berlandaskan Revolusi Hijau sebagai upaya dalam mengintensifkan Pertanian tidak memberikan dampak yang cukup besar didalam penerimaan negara yang diharapkan.

Pada akhirnya Presiden Soeharto kembali kepada skema lama yang pernah tinggalkan pada tahun 1960an, dengan mengandalkan sepenuhnya investasi asing. Untuk menarik permodalan asing tersebut, pemerintah menggeser orientasi perekonomian Indonesia. Semula pembangunan ekonomi berorientasi internal (domestik) menjadi orientasi pasar ekternal (global). 

Sejak 1986 pemerintah mengambil serangkaian kebijakan yang menekankan �pro" ekspor sementara disisi lain menghilangkan sekat-sekat dengan menghapus pelbagai penghalang impor. Mencabut pembatasan modal asing, kemudian membuat serangkaian aturan yang memungkinkan masuknya seratus persen kepemilikan aset dan investasi oleh perusahaan asing.
Kegiatan ekspor dan impor, menggambarkan ekonomi Indonesia yang global (Foto:okezone.com)
Kelanjutan setelah itu pada tahun 1983 hingga 1988. Pemerintahan Presiden Soeharto menginisiasi liberalisasi perekonomian Indonesia dengan fokus meningkatkan ekspor non migas. Liberalisasi berfokus pada empat bidang, meliputi: 
  1. Reformasi perbankan 
  2. Pasar modal, 
  3. Perdagangan internasional, dan 
  4. Investasi luar negeri. 
Reformasi perdagangan dan investasi menjadi agenda utama dalam tahun-tahun berikutnya setelah pertimbangan bahwa sektor pertanian dan industri dinilai kurang menguntungkan secara praktis. Hal ini dapat dilihat pada pemotongan anggaran dan proteksi terhadap upaya pemberdayaan petani dan buruh yang kian berkurang.

Indonesia akhirnya menggeser orientasi pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Pembangunan ekonomi agraris modern dan industri berorintasi domestik yang padat karya, kini diputar haluan menjadi pembangunan padat modal yang bersumber pada investasi dan hutang luar negeri yang berfokus pada perekonomian berorientasi ekspor dan impor berskala global.

Kepustakaan

Habibi Muhtar. 2016. Surplus Pekerja Pinggiran di Kapitalisme Pinggiran. Marjin Kiri : Tangerang Selatan
Ricklefs.M.C. 2016. Sejarah Indonesia Modern . Cetakan Kesebelas. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta
Rentjana Pembangunan Lima Tahun 1969/70 - 1973/74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar