Harian Sejarah - Pada mulanya Agama Islam mulai tersebar di wilayah Asia Tenggara dan khususnya wilayah Indonesia sejak abad ke-12 atau 13. Inflistrasi dan perkembangan Islam di wilayah Indonesia berbeda-beda. Kerajaan Demak itu sendiri dahulunya merupakan sebuah daerah yang dikenal dengan nama bintoro yang merupakan daerah dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Wilayah Demak terletak di tepi selat dan diantara pegunungan Muria dan Jawa. Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai Kesultanan Islam yang pertama di Jawa.
Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara, di mana Bergola adalah pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi kerajaan Demak
Ketika Majapahit mengalami kemunduran sekitar abad ke 15 menjadi faktor yang mendukung untuk berkembangnya Kerajaan Islam di Jawa. besar kemungkinan bahwa pada abad XII di Jawa sudah ada orang Islam yang menetap. Karena sudah ada yang menyusuri pantai timur Sumatera dan Laut Jawa bagian Timur untuk melakukan jalur perdagangan.
Lokasi Kesultanan Demak. Foto: Pinterest
Para pelaut tersebut baik yang beragama Islam maupun tidak, dalam melakukan perjalanan di jalur perdagangan tersebut mereka banyak singgah di banyak tempat. Pusat-pusat permukiman di Pantai Utara Jawa ternyata sangat cocok untuk hal itu.
Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Rahmat dari Ngampel Denta, nama tersebut diadopsi dari nama kampung di Surabaya. Menurut Cerita Jawa, ia berasal dari Cempa banyak yang mengira bahwa Cempa itu adalah suatu wilayah yang terdapat di Cina, namun mengenai lokasi yang benar akan hal itu masih diperdebatkan.
Ada yang mengatakan bahwa letak Cempa adalah Jempa yang merupakan salah satu wilayah yang terdapat di Aceh hal ini dilihat oleh rute perjalanan yang di tempuh orang suci yang ditempuh oleh Syekh Ibnu Maulana dari Tanah Arab ke Jawa. apabila Campa sama artinya dengan Jeumpa maka rute perjalanannya lebih masuk akal.
Apabila peristiwa sejarah dan tahun-tahun kejadian tersebut mengenai Campa yaitu tempat Islam pertama berasal di Jawa, maka kita dapat menyusunnya seperti berikut. Seorang raja Majapahit atau seorang anggota keluarga raja menjelang abad ke 15 telah membawa gadis Islam keluarga baik-baik yang berasal dari Cempa ke istananya(sejak dahulu Majapahit memiliki hubungan yang baik dengan Cempa), lalu kemudian Wanita Islam itu meninggal pada 1448 dan dimakamkan secara Islam (Putri Campa).
Beberapa tahun sebelumnya, dua orang keluarga putri itu, yaitu kakak beradik meninggalkan Cempa dan melewat ke Jawa, mereka ini juga beragama Islam, ayah mereka orang barat yang kawin di Cempa dengan Wanita keturunan Bangsawan. Salah satu alasan kedua kakak-beradik itu pergi ke Jawa ialah karena ancaman orang Annam untuk menyerang Cempa.
Peta Jawa awal abad ke-18. Foto: Wikimedia
Lokasi kerajaan Demak yang strategis untuk perdagangan nasional, karena menghubungkan perdagangan antara Indonesia bagian Barat dengan Indonesia bagian Timur, serta keadaan Majapahit yang sudah hancur, maka Demak berkembang sebagai kerajaan besar di pulau Jawa, dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah. Ia bergelar Sultan Alam Akbar al-Fatah (1500 � 1518). Pada masa pemerintahannya Demak memiliki peranan yang penting dalam rangka penyebaran agama Islam khususnya di pulau Jawa, karena Demak berhasil menggantikan peranan Malaka, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis 1511.
Kehadiran Portugis di Malaka merupakan ancaman bagi Demak di pulau Jawa. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka pada tahun 1513 Demak melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka, yang dipimpin oleh Adipati Unus atau terkenal dengan sebutan Pangeran Sebrang Lor.
Serangan Demak terhadap Portugis walaupun mengalami kegagalan namun Demak tetap berusaha membendung masuknya Portugis ke pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Adipati Unus (1518 � 1521), Demak melakukan blokade pengiriman beras ke Malaka sehingga Portugis kekurangan makanan.Puncak kebesaran Demak terjadi pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521 � 1546), karena pada masa pemerintahannya Demak memiliki daerah kekuasaan yang luas dari Jawa Barat sampai Jawa Timur.
Peran Wali Songo
Wali Songo. Foto: kliping.co
Kata �wali� (Arab) antara lain berarti pembela, teman dekat dan pemimpin. Dalam pemakaiannya, wali biasanya diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah (Waliyullah). Sedangkan kata �songo� (Jawa) berarti Sembilan. Walisongo artinya sembilan wali, sebenarnya jumlahnya bukan hanya sembilan.
Jika ada seorang walisongo meninggal dunia atau kembali ke negeri seberang, maka akan digantikan anggota baru. Songo atau sembilan adalah angka keramat, angka yang dianggap paling tinggi. Dewan dakwah tersebut sengaja dinamakan walisongo untuk menarik simpati rakyat yang pada waktu masih belum mengerti apa sebenarnya agama Islam.
Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh walisongo, sebagai mufti atau pemimpin agama Islam Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, sedangkan sebutan Sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta, atau Ngampel Denta (menurut Babad Tanah Jawi versi Meinsme), itu dinisbahkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya. Raden Rahmat diperkirakan lahir pada awal abad ke-15 di Campa, sebagai putra Raja Campa.
Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan perjuangan Maulana Malik Ibrahim. Ia memulai aktivitasnya dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Jawa. Di tempat inilah dididik pemuda-pemudi Islam sebagai kader yang terdidik, untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh pulau Jawa.
Muridnya antara lain Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden Patah yang kemudian menjadi sultan Pertama dari kerajaan Islam di Bintoro Demak, Raden Makdum Ibrahim yang dikenal dengan Sunan Bonang, Raden Kosim Syarifuddin yang dikenal dengan Sunan Drajat, Maulana Ishak yang pernah diutus ke daerah Blambangan untuk mengislamkan rakyat disana, dan banyak lagi mubalig yang mempunyai andil besar dalam islamisasi Pulau Jawa.
Sunan Ampel tercatat sebagai perancang kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa dengan ibukota di Bintoro, Demak. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak, yang dipandang punya jasa paling besar dalam meletakkan peran politik umat Islam di nusantara.. Sunan Ampel juga yang pertama kali menciptakan Huruf Pegon atau tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf pegon ini, beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada para muridnya. Hingga sekarang huruf pegon tetap dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan pesantren.
Hasil didikan Sunan Ampel yang terkenal adalah falsafah Mo Limo atau tidak melakukan lima hal tercela, yaitu :
- Moh Main atau tidak mau berjudi
- Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan
- Moh Maling atau tidak mau mencuri
- Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja dan lain-lain
- Moh Madon atau tidak mau berzina
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, berpandangan jauh, berpikiran tajam, intelek, serta berasal dari suku Jawa asli. Nama Kalijaga konon berasal dari rangkaian bahasa Arab qadi zaka yang berarti pelaksana dan membersihkan. Qadizaka yang kemudian menurut lidah dan ejaan menjadi Kalijaga berarti pemimpin atau pelaksana yang menegakkan kebersihan atau kesucian.. Jasanya bagi Demak cukup banyak. Pada waktu pendirian mesjid Demak, ia salah seorang wali yang berkewajiban menyediakan salah satu dari 4 tiang pokok (saka guru) yang menurut legenda, ia buat dari tatal (serpihanserpihan kayu sisa).
Ia juga menjadi penasehat umum raja-raja Demak, sejak Raden Patah sampai Sultan Trenggana. Dalam pemeritahan Demak, di samping sebagai ulama dan juru dakwah, Sunan Kalijaga juga penasihat Kesultanan Demak Bintoro, Ketika para wali memutuskan untuk mempergunakan pendekatan kultural terhadap masyarakat, termasuk di antaranya pemanfaatan wayang dan gamelan sebagai media dakwah, maka orang yang paling berjasa dalam hal ini adalah Sunan Kalijaga.. Sunan Kalijaga juga sangat berjasa dalam perkembangan wayang purwa atau wayang kulit yang bercorak Islami seperti sekarang ini. Ia mengarang aneka cerita wayang yang bernafaskan Islam, terutama mengenai etika. Kecintaan masyarakat terhadap wayang digunakannya sebagai sarana untuk menarik mereka untuk masuk Islam.
Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria adalah salah seorang wali songo yang banyak berjasa dalam menyiarkan agama Islam di pedesaan Pulau Jawa. Ia adalah putra Sunan Kalijaga. Nama aslinya Raden Umar Said atau Raden Said. Sedang nama kecilnya adalah Raden Prawoto, namun ia lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah utara kota Kudus sekarang).
Sunan Muria termasuk wali-wali yang memutuskan untuk memindahkan pesantren Ampel Denta (sepeninggal Sunan Ampel) ke Demak di bawah pimpinan Raden Patah. Ia sangat rajin berdakwah ke pelosok-pelosok desa dan gunung-gunung. Sarana dakwah yang dipakainya adalah melalui gamelan dan wayang serta kesenian Jawa lainnya.
Ciri khas Sunan Muria dalam upaya menyiarkan agama Islam adalah menjadikan desa-desa terpencil sebagai tempat operasinya. Ia lebih suka menyendiri dan bertempat tinggal di desa dan bergaul dengan rakyat biasa. Ia mendidik rakyat di sekitar Gunung Muria. Cara yang ditempuhnya dalam menyiarkan agama Islam adalah dengan mengadakan kursus-kursus bagi kaum pedagang, para nelayan dan rakyat biasa.. Makam Sunan Muria terletak di puncak gunung, banyak dikunjungi orang setiap hari sampai sekarang, terutama pada hari Jum�at Pahing.
Sunan Bonang
Sunan Bonang dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Bonang selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gemelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan nafas Islam ke dalamnya.
Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (usapan dua kalimat syahadat), gamelan yang mengiringinya kini dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain. Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang durma, sejenis macapat yang melukiskan usaha tegang, bengis dan penuh amarah.
Kegiatan dakwah Sunan Bonang dipusatkan di sekitar Jawa Timur, terutama daerah Tuban, dengan basis pesantren sebagai wadah mendidik kader. Dalam aktivitas dakwahnya, ia mengganti nama dewa-dewa dengan nama malaikat dalam Islam dengan maksud agar penganut Hindu dan Budha mudah diajak masuk agama Islam.
Sunan Drajat
Menurut silsilah, Sunan Drajat adalah putera Sunan Ampel dari isteri kedua bernama Dewi Candrawati. Sunan Drajat turut serta dalam musyawarah para wali untuk memutuskan siapa yang menggantikan Sunan Ampel untuk memimpin pesantren Ampel Denta, dan ketika para wali memutuskan untuk mengadakan pendekatan kultural pada masyarakat Jawa dalam menyiarkan agama Islam.
Sunan Drajat tidak ketinggalan untuk menciptakan tembang Jawa yang sampai saat ini masih dilantunkan. Hal yang paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah-masalah sosial. Ia terkenal mempunyai jiwa sosial dan tema-tema dakwahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan. Ia selalu memberi pertolongan kepada masyarakat umum, menyantuni anak yatim dan fakir miskin sebagai suatu aktivitas sosial yang dianjurkan agama Islam
Penulis: Shinta Melinda. Mahasiswa Sejarah UI
Rujukan:
Tarwilah. (2006). Peranan Wali Songo dalam Pengembangan Dakwah Islam. Jurnal Kopetis Wilayah IX Kalimantan vol 4 . No 9.
Zahra, F. (2014). Pengembangan Bahan Ajar Sejarah Pokok Bahasan Islamisasi Berbasis Peninggalan Sejarah Masjid Agung Demak. Indonesian Journal of History Education, 3(1).
Farida, U. (2016). Islamisasi Di Demak Abad XV M: Kolaborasi Dinamis Ulama-Umara Dalam Dakwah Islam Di Demak. AT-TABSYIR: Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, 3(2), 299-318.
Falakhuddin, F. (2017). Dakwah Wali Songo Dan Islamisasi Di Jawa. Misykat Al-Anwar, 2(1), 292
Hak, N. (2016). Rekonstruksi Historiografi Islamisasi Dan Penggalian Nilai-Nilai Ajaran Sunan Kalijaga. Analisis Jurnal Studi Keislaman, 16 (1), 67-102.
Suryo, D. (2000, November). Tradisi Santri dalam Historiografi Jawa, Pengaruh Islam di Jawa. dalam Seminar Pengaruh Islam terhadap budaya Jawa, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar