Rabu, 03 Januari 2018

Sejarah perjuangan kapitan pattimura

Eriska Tindi/16A/SI3

Pada tanggal 14 Mei 1817 sebagian besar penduduk Saparua mengadakan rapat di hutan Saniri. Rapat itu adalah rapat ketiga yang mereka adakan dalam usaha menggerakkan perlawanan rakyat menentang penjajahan Belanda. Dalam rapat kedua sudah dicapai kata sepakat untuk mengangkat senjata, tetapi belum diputuskan siapakah yang akan menjadi pemimpin perlawanan. Untuk memilih pimpinan itulah diadakan rapat tanggal 14 Mei 1817 itu.
Tidak mudah mencari seseorang yang mampu memimpin perla�wanan. la haruslah seorang yang berwibawa dan memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal siasat dan pertempuran. Tiba-tiba, seorang laki-laki berumur 34 tahun maju ke depan. Ia mengacungkan pedang terhunus dan sambil menengadah ke langit ia berkaia setengah berteriak, "Saya sanggup memimpin perlawanan!". Semua yang hadir dalam pertemuan itu setuju dan mereka berjanji akan membantu. Dengan demikian mereka mengakui laki-laki tersebut sebagai pemimpin perlawanan. Laki-laki itu bernama Thomas Matulessy atau lebih" dikenal dengan nama Kapitan Pattimura. Ia dilahirkan di Ambon tahun 1783, tetapi dibesarkan di Saparua.

Dalam masa mudanya Thomas menyaksikan terjadinya pergantian kekuasaan di Kepulauan Maluku. Penjajahan Belanda yang sudah berlangsung hampir dua abad lamanya digantikan oleh penjajahan Inggris. Betapapun, rakyat Maluku tetap menjadi rakyat jajahan dan menanggung segala akibat dari penjajahan itu.
Pergantian kekuasaan di Maluku khususnya dan di Indonesia umumnya sekitar awal abad ke-18 itu disebabkan oleh perang yang berkobar di Eropa yang ditimbulkan oleh ambisi Napoleon untuk menempatkan Eropa di bawah kekuasaan Perancis. Dalam perang itu negeri Belanda jatuh ke bawah kekua�saan Perancis, sedangkan Perancis bermusuhan dengan Inggris. Pada waktu Perancis kalah, maka Indonesia sebagai jajahan Belanda, jatuh ke bawah kekuasaan Inggris.
Pemerintah Inggris berusaha menarik simpati rakyat, antara lain dengan memberikan kesempatan kepada pemuda-pemuda Maluku untuk memasuki Anas militer. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh penduduk setempat termasuk Thomas Matulessy. Dalam dinas ketentaraan Inggris, Matulessy berhasil mencapai pangkat sersan. 
Pemerintah Inggris tidak berlangsung lama. Setelah perang Napoleon berakhir, Indonesia diserahkan Inggris kembali kepada Belanda. Seperti pada masa-masa sebelumnya, Belanda kembali menjalankan politik penjajahannya. Kekayaan Maluku dikuras. Berbagai peraturan yang sangat menekan penduduk, dikeluarkan, Orang-orang yang bersalah atau yang pernah membantu Inggris termasuk yang pernah memasuki dinas ketentaraan Inggris, di tangkap dan dicambuk dengan rotan. Perlakuan seperti itu dialami antara lain oleh Anthoni Rhebok dan Philip Latumahina, yang keduanya kelak akan menjadi pembantu utama Thomas Matulessy. Penindasan dan tindakan-tindakan kasar yang dijalankan Belanda menjadi salah satu sebab bangkitnya penduduk Maluku melakukan perlawanan bersenjata untuk menumbangkan kekuasaan Belanda sepert yang dicetuskan oleh penduduk Saparua dalam rapat di hutan Saniri. Sasaran utama mereka ialah merebut benteng Duurstede, lambang kolonial di Saparua. Malam hari tanggal 14 Mei 1817 gerakan dimulai. Beberapa buah arombai (perahu kecil) yang bermuatan kayu milik orang Belanda disita penduduk di pelabuhan Porto. Peristiwa itu segera dilaporkan kepada Residen Van Den Berg. Pagi hari tanggal 15 Mei ia berangkat ke Porto dengan menunggang kuda. Residen yakin, kehadirannya di Porto akan dapat menenangkan penduduk. Pada waktu ia singgah di rumah Patih Haria, rumah itu dikepung penduduk. Mereka mengancam akan membunuh Residen. Untunglah ia sempat disem-bunyikan oleh seorang penduduk yang masih setia kepada Belanda. Dari tempat persembunyiannya Van Den Berg menulis surat yang ditujukan kepada-komandan benteng Duurstede.
Ornek, juru tulis Residen, membawa sepasukan tentara untuk menyelamatkan Residen. Di tengah jalan pasukan itu dicegat oleh penduduk sehingga Ornek terpaksa kembali untuk mengambil pasukan yang lebih besar. Pasukan kedua ini pun mengalami nasib yang sama, bahkan Ornek luka-luka dan seorang anak buahnya cedera tangannya.
Sementara itu penduduk berhasil menemukan tempat persembunyian Residen Mereka ingin membunuhnya, tetapi dilarang oleh Matulessy, dan ia memerintahkan supaya Residen diantarkan ke benteng. Malam hari Matulessy mengutus Anthoni Rhebok dan Philip Latumahina ke benteng untuk berunding dengan Residen. Latumahina diberi pula tugas khusus, yakni menyelidiki kekuatan pasukan Belanda yang ada dalam benteng. Kedua utusan itu menyadarkan Residen agar tidak menempuh jalan kekerasan dalam menghadapi perlawanan rakyat. Anthoni Rhebok meninggalkan benteng malam itu juga, sedangkan Latumahina menginap. Kesempatan itu dipakainya untuk menyelidiki keadaan benteng.
Pagi tanggal 16 Mei 1817, sebelum matahari terbit, penduduk sudah ber-siap-siap hendak menyerbu benteng Duurstede. Sementara itu Matulessy ma-sih berada di Haria, 5 Kilometer dari benteng. Empat orang diutus untuk men-jemputnya. Dalam pertemuan yang diadakan pagi itu ia diangkat sebagai pimpinan penyerbuan ke benteng. Matulessy segera menyusun pasukan dan mengatur siasat. Pemuda-pemuda yang dulunya berdinas dalam ketentaraan Inggris dan teman-teman dekatnya di jadikan barisan inti.
Setelah selesai, Matulessy memerintahkan massa rakyat bergerak menuju benteng. Residen Van Den Berg dengan didampingi sersan Verhagen mengawasi gerakan rakyat itu dari lobang benteng. Van Den Berg menjadi cemas. Ia menyadari bahwa pasukannya tak akan mampu manahan serangan rakyat yang cukup banyak. Karena itu, sebelum Pattimura mengeluarkan perintah menyerbu, Residen memerintahkan anak buahnya mengibarkan bendera putih. Seorang utusan dikirimnya untuk menemui Pattimura, minta bounding. Tawaran perundingan itu ditolak oleh Pattimura. Tengah hari Pattimura memerintahkan pasukannya menyerbu. Pasukan Belanda yang bertahan dalam benteng melepaskan tembakan bertubi-tubi. 
Meriam pun mereka tembakkan, tetapi serbuan rakyat tak dapat mereka bendung. Sebagian pasukan Pattimura berhasil memanjat dinding dan memasuki benteng. Perkelahian seorang lawan seorang berlangsung dalam benteng. Pada saat serbuan semakin hebat, sekali lagi Van Den Berg mengibarkan bendera putih. Tetapi pihak penyerbu tidak memperdulikannya. Sebaliknya bendera putih itu semakin menambah semangat mereka untuk memasuki benteng. Pada hari itu juga benteng Duurstede jatuh ke tangan penduduk. Mayat serdadu Belanda bergelimpangan di dalam benteng. Di antara mayat-mayat ini terdapat mayat Residen Van Den Berg beserta isteri dan dua orang anaknya. Gubernur Belanda di Ambon terkejut mendengar jatuhnya benteng Duurstede. Ia segera bertindak mengirim pasukan di bawah pimpinan Mayor Beeoes dengan tugas merebut kembali benteng Duurstede. Pasukan itu beriringan 300 orang serdadu. 
Beetjes tidak langsung membawa pasukannya ke Saparua, tetapi melewati tempat-tempat kecil. Di tempat-tempat tersebut ia meninggalkan sebagian anak buahnya untuk memperkuat pertahanan, sebab diperkirakan penduduk akan menyerang pula tempat-tempat tersebut. Ia pun memperkuat benteng "Zeelandia" di Haruku.
Pattimura pun menyiapkan pasukannya. Kurang lebih 1000 orang penduduk sudah dalam keadaan siap tempur. Mereka ditempatkan di jalan yang akan dilewati pasukan Belanda. Tetapi rupanya Beetjes memutar haluan ke Waisisil, sebuah tempat berawa-rawa, penuh tumbuh-tumbuhan bakau.
Beetjes mengira pendaratan di Waisisil akan berjalan dengan aman dan lancar. Ternyata dugaannya salah. Begitu pasukan Belanda mendarat, mereka diberondong oleh barisan rakyat dengan tembakan. Pasukan Belanda kacau balau. Beetjes memerintahkan pasukannya mundur. Tetapi siasat itu diketahui oleh Anthoni Rhebok yang memimpin perlawanan di tempat ini. Ia dengan segera memerintahkan anak buahnya memotong jalan pengunduran pasukan Belanda. Pertempuran sengit berkobar dan banyak menimbulkan kerugian di pihak Belanda. Sebagian berenang di laut, karena arombai yang tadinya dipakai untuk membawa pasukan ini sudah melarikan diri. Para pemiliknya takut diserbu rakyat.
Dalam pertempuran di Waisisil ini pasukan Belanda mengalami kehancuran. Mayor Beetjes bersama dengan komandan bawahannya Staalman dan Abdulmanan, tewas. Sebaliknya kemenangan di Waisisil ini mempertinggi semangat pasukan Pattimura. Mereka yakin, bahwa pemerintah Belanda bukannya tidak mungkin di tumbangkan. Pattimura mengumpulkan semua kapitan dan pemuka-pemuka masyarakat. Mereka mengeluarkan sebuah pernyataan yang dikenal dengan nama "Proklamasi Haria". Dalam proklamasi yang di tandatangani oleh 21 orang itu diterangkan sebab-sebab mengapa rakyat mengangkat senjata melawan Belanda. Di antaranya yang terpenting ialah
1. Pemerintah Belanda memecat guru-guru yang berarti menghancurkan agama Kristen dan pendidikan rakyat;
2. Kaum laki-laki Maluku dibawa ke Jakarta untuk menjadi tentara dan dipi-sahkan dari keluarga mereka;
3. Rakyat dipaksa melakukan kerja berat termasuk membuat garam tanpa digaji;
4. Rakyat tidak sempat memelihara kebun cengkeh dan kopinya, karena dipaksa mengerjakan kebun pala milik Belanda. Setelah ekspedisi Beetjes gagal, Belanda mengirim lagi pasukan ke Saparua yang diangkut oleh tiga buah kapal, sebuah di antaranya kapal milik Inggris Swallow yang sengaja disewa untuk keperluan itu. Di Ambon, pemerintah hanya menerima 800 orang pemuda untuk menjadi tentara, 300 orang di antaranya dipersenjatai dengan senapan,
Pattimura memerintahkan agar pertahanan di Haruku diperkuat, sebab hal itu dapat dijadikan Belanda sebagai batu loncatan untuk menyerang Saparua. Sesuai dengan perintah tersebut maka penduduk Haruku di bawah pimpinan Lukas Selano dan Aron Lisapaly mengadakan persiapan-persiapan. Mereka berusaha untuk merebut benteng Zeelandia. Bantuan datang dari berbagai daerah seperti Dia, Lulu, Latu, Hoalai dan Amahai. Bahkan dari Seram pan datang bantuan. Sebagian barisan rakyat yang datang dari Seram dikirim ke Hulaliu yang terletak tidak jauh dari Haruku.
Dengan demikian berarti perlawanan yang dicetuskan di Saparua itu sudah menjalar ke daerah-daerah lain di Kepulauan Maluku. Di Pelau, barisan rakyat menyerang benteng "Hoorn" dan berhasil mereka kuasai. Semua tentara Belanda yang terdapat dalam benteng itu tewas. Di Nusa Laut perlawanan berkobar pula. Perlawanan di daerah jni melahirkan seorang pejuang wanita, Khristina Martha Tiyahahu.
Serbuan terhadap benteng Zeelandia dilancarkan tanggal 4 Juni 1817. Pasukan Belanda melepaskan tembakan bedil dan meriam. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Barisan rakyat terpaksa mundur untuk menyusun kekuatan. Beberapa waktu kemudian mereka maju lagi, namun akhirnya terpaksa mengakui keunggulan lawan. Sekalipun pasukan Belanda berhasil mempertahankan bentengnya, namun kekuatan mereka sudah jauh berkurang. Karena itu komandan benteng mengirim utusan yang membawa surat untuk Kapitan Pattimura. Surat itu tidak di tanggapi, malahan dilemparkannya ke tanah. Karena gagal, Belanda mengubah taktik. Usaha adu-domba mulai dijalankan. Raja Haruku, Ferdinandus, disuruh membujuk Raja Oma yang sudah tua tetapi berpengaruh besar, agar mengajak rakyatnya memihak Belanda. Raja Oma menolak ajakan itu, bahkan Raja Haruku, utusan Belanda itu dibunuhnya.
Belanda belum putus asa. Usaha-usaha untuk berunding terus dilakukan. Akhirnya tercapailah perundingan di Hutawano, melalui utusan yang di kirimkan dari kapal ke darat. Dan berhasil diadakan pembicaraan antara Letnan Kolonel Groot dengan Kapitan Pattimura. Keduanya tidak mencapai suatu kesepakatan apapun. Sesudah itu tidak ada lagi perundingan.
Pertempuran berkobar lagi tanggal 21 Juli 1817. Kapal-kapal Belanda memuntahkan peluru-peluru meriamnya, namun usaha mereka untuk mendarat dapat digagalkan oleh rakyat. Belanda kemudian mengalihkan rencananya, yakni mendarat di Saparua dengan tujuan merebut kembali benteng Duurstede. Pada saat Belanda mengalami kegagalan demi kegagalan, Patih Akoon, Dominggus Tuwanakota, melakukan pengkhianatan. la menceritakan kepada Belanda rahasia pertahanan rakyat di benteng Duurstede.
Perlawanan rakyat Maluku itu cukup memusingkan kepala pejabat-pejabat Belanda di Jakarta. Laksamana Muda Buyskes yang berpengalaman dalam perang di Eropa dikirim ke Maluku dengan pasukan yang besar. Sementara itu Belanda tetap menjalankan taktik adu domba. Mereka mengumumkan, barang siapa dapat menangkap Pattimura akan diberi hadiah 1000 gulden, dan yang berhasil menangkap para pembantunya akan diberi hadiah 500 gulden untuk setiap orang yang ditangkap.
Belanda terus menerus menambah kekuatannya untuk merebut kembali benteng Duurstede. Tengah hari tanggal 2 Agustus 1817 dua buah kapal perang Belanda memasuki teluk Saparua dan mendekati benteng. Tembakan-tembakan meriam diarahkan ke pantai sekitar benteng. Tetapi pasukan belum didaratkan.
Tembakan-tembakan meriam diulangi lagi esok harinya. Tidak ada tembakan balasan dari benteng. Pattimura sudaK memerintahkan agar benteng itu dikosongkan. la menempatkan pasukannya di hutan-hutan sekitar benteng. Dengan taktik itu Pattimura ingin menjebak pasukan Belanda yang mendarat dan bergerak di sekitar benteng. Tetapi Belanda yang sudah mendapat laporan dari Patih Akoon sudah mengetahui siasat itu. Pada waktu pasukan Belanda mendarat, mereka ditembaki oleh pasukan Pattimura dari balik semak-semak. Beberapa orang pasukan Belanda tewas dan luka-luka. Pattimura memancing agar pasukan Belanda bergerak meninggalkan pantai dan memasuki daerah jebakan yang sudah disediakan. Ternyata pasukan Belanda tidak terpancing. Mereka langsung bergerak ke benteng. Sore hari tanggal 3 Agustus 1817 benteng Duurstede yang sudah dikosongkan oleh pasukan Pattimura direbut kembali oleh Belanda.
Walaupun benteng Duurstede sudah dikuasai oleh Belanda kembali, tetapi perlawanan rakyat masih terus berlangsung. Untuk mematahkannya sama sekali, Belanda menggunakan tiga buah kapal perang dengan persenjataan yang lengkap. Laksamana Muda Buyskes membagi kekuatannya atas tiga detasemen. Serangan serentak dan pengepungan dari berbagai penjuru direncanakan dengan rapi. Sementara itu di beberapa tempat rakyat mengalami lekanan hebat. Di Larike Kapiian Ulupala berhasil melumpuhkan pasukan Belanda. Musuh kehabisan peluru dan makanan. Barulah setelah bala bantuan tiba, rakyat mengundurkan diri.
Tekanan-tekanan Belanda semakin lama semakin berat. Kedudukan Pattimura mulai terdesak. Setelah benteng Duurstede jatuh kembali ke tangan Belanda, Pattimura membangun pertahanan di Bukit Booi, Saparua. Usahanya untuk menyeberang ke pulau lain tidak berhasil, sebab jalan-jalan yang mungkin dilewatinya sudah dijaga ketat oleh pasukan Belanda. la tinggal bersama beberapa orang pembantu dekatnya dalam sebuah gubuk. Di sini mereka menyusun rencana untuk melanjutkan perjuangan, tetapi pada suatu malam tanggal 11 November 1817 sepasukan tentara Belanda di bawah pimpinan Letnan Peterson mengepung gubuk itu. Pasukan ini dibawa oleh Raja Booi, dengan Pattiasina yang bertindak sebagai penunjuk jalan. Dialah yang melaporkan kepada Belanda tempat persembunyian Pattimura, padahal raja itu turut menandatangani Proklamasi Haria.
Kedatangan pasukan Belanda tengah malam itu, tidak diduga-duga. Tak ada waktu bagi Pattimura dan kawan-kawannya untuk melawan. Mereka dilucuti, kemudian digiring ke kapal.
Malam hari itu juga beberapa orang pembantu Pattimura tertangkap, Kapitan Lukas Latumahina dan Patih Touw tertangkap tanggal 13 November 1817. Sesudah itu tertangkap pula beberapa orang raja dan Kapitan di Siri Son, Ouw dan Ulat. Mereka semuanya dibawa ke kapal Eversten. Paulus Tiahahu dari Nusalaut, juga tertangkap.
Pada awal Desember 1817 tokoh-tokoh perlawanan itu dihadapkan ke depan pengadilan kolonial. Mereka dipersalahkan memberontak melawan kekuasaan yang sah. Sesudah beberapa kali bersidang, putusan pun dijatuhkan. Erapat orang yang dianggap sebagai otak pemberontakan dijatuhi hukuman gantung sampai mati. Mereka ialah, Kapitan Pattimura, Anthoni Rhebok, Said Perintah dan Philip Latumahina. Pattimura dikenakan hukuman tambahan, yakni setelah mati, mayatnya di tiang gantungan akan dipertontonkan kepada rakyat.
Hukuman gantung dilaksanakan pagi hari tanggal 16 Desember 1817. Ke empat orang pahlawan rakyat Maluku itu dibawa ke tiang gantungan di lapangan depan benteng "Victoria", Ambon. Air muka mereka memperlihatkan ketenangan yang mencerminkan keteguhan hatinya setelah berusaha membebaskan bangsanya dari kekuasaan kolonial. Yang muia-mula menjalani hukuman ialah Philip Latumahina. Sesudah itu menyusul Anthoni Rhebok, Said Perintah dan akhirnya Kapitan Pattimura.
Dengan tenang Kapitan Patimura naik tiang gantungan. Sebelum digantung, ia sempat memandang di kejauhan, di sanalah rakyat masih terus berjuang merebut kemerdekaannya. Perjuangan Pattimura dicatat oleh sejarah dan memperoleh penghargaan tinggi oleh bangsanya. Pemerintah Rl menghargai jasa-jasa dan perjuangannya. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/Tahun 1973 tanggal 6 November 1973, Pattimura dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Asril, M.Pd, 2017, Sejarah Indonesia Zaman Penjajahan Bangsa Eropa, Pekanbaru, Universitas Riau
Tim Puspa Swara, 2013, Pahlawan Indonesia: Album&Biografi Terlengkap&Terkini, Yogyakarta, Puspa Swara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar