Rabu, 03 Januari 2018

PEMBANTAIAN TERHADAP ETNIS ROHINGYA MYANMAR


DIDIK AHAMADI/SAT/15A

Rohingya telah tinggal sejak lama di Myanmar, mereka merupakan orang-orang dengan budaya dan peradaban yang berbeda-beda. Jika ditelusuri, nenek moyang merka berasal dari orang Arab, Moor, Pathan, Moghul, Bengali, dan beberapa orang Indo-Mongoloid. Rohingy merupakan kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan atau Rohang dalam bahasa Rohingya) di Myanmar Rohingya adalah etno-linguistik yang berhubungan dengan bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh (yang berlawanan dengan mayoritas rakyat Myanmar yang Sino-Tibet)
Permukiman Muslim di Arakan telah ada sejak abad ke-7 Masehi. Rohingya tidak dianggap ke dalam 135 etnis resmi negara tersebut. Mereka juga telah ditolak kewarganegaraannya di Myanmar sejak 1982, yang secara efektif membuat mereka tanpa kewarganegaraan di tempat tinggalnya.Hal tersebut tentunya membuat Rohingya semakin di kucilkan dan semakin memperihatinkan.  (M. Ali kettani, 20-21)

Konflik
Tidak jelas peristiwa apa sebenarnya yang menjadi pemicu atau "trigger" kekerasan kolektif Buddha-Muslim itu. Sebagian ada yang mengatakan tragedi itu dipicu oleh kasus pemerkosaan seorang perempuan (Buddha) Rakhine yang dilakukan beberapa orang Muslim Rohingya ("gang rape"). Ada lagi yang mengatakan tragedi itu dipicu oleh pembunuhan atas sejumlah Muslim Rohingya (oleh massa Buddha Rakhine).
Apapun pemicunya, yang jelas sejumlah kelompok Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya terlibat aksi saling-balas, saling-serang, dan saling-bunuh yang menyebabkan Myanmar tenggelam dalam tragedi kemanusiaan memilukan. Bahkan kini, kekerasan bukan hanya dilakukan oleh sekelompok Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya saja tetapi sudah menjalar menjadi pertikaian Buddha�Muslim dari berbagai kelompok etnis.
Konflik Buddha�Muslim ini semakin menambah daftar panjang dan kompleksitas kekerasan di Myanmar. Perlu diketahui, sejak merdeka tahun 1948, Myanmar tenggelam dalam "lingkaran setan" kekerasan dan kubangan konflik yang tak kunjung sirna, dan belum ada tanda-tanda akan usai dalam waktu dekat ini. Kekerasan itu dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor mendasar: kompetisi antar-ideologi politik, perseteruan antar-etnis, rivalitas antar-elit politik dan birokrat, dominasi tentara, konflik sipil-militer, dlsb.
Dengan kata lain, ada banyak dimensi atau basis konflik di Myanmar: etnis, politik, ideologi, ekonomi, militer, dlsb, tidak melulu agama. Konflik berdimensi agama (Buddhisme�Islam), gerakan anti-Muslim Rohingya, atau kerusuhan antar-kelompok agama (Buddha�Muslim) hanyalah satu dari sekian daftar kekerasan di negara yang dulu bernama Burma ini.
Rohingya juga bukan satu-satunya etnis yang menjadi korban kekerasan. Berbagai kelompok etnis, khususnya kelompok separatis etnis bersenjata, juga menjadi target kekerasan rezim pemerintah pusat dan militer. Rakhine juga bukan satu-satunya kawasan yang dilanda kekerasan sosial dan struktural. Shan dan Kachin, antara lain, adalah kawasan lain yang sangat rawan kekerasan karena memiliki sejarah separatisme etnis yang cukup panjang.(M. Ali kettani, 25-26)
Sejak 1980an, beberapa upaya perdamaian dan resolusi konflik dilakukan tetapi hasilnya selalu nihil. Hal itu terjadi, antara lain, karena kelompok etnis mayoritas (khususnya Bamar) yang menguasai kepolitikan, kemiliteran, birokrasi-pemerintahan, dan perekonomian tidak bersedia untuk "berbagi kenikmatan" dengan kalangan minoritas etnis lain yang jumlahnya ratusan. Maka tidak mengherankan jika sebagian dari mereka tidak terima dan akhirnya angkat senjata melawan rezim pemerintah maupun militer.Myanmar yang kaya dengan sumber-sumber minyak, gas alam, mineral, batu giok, dan mutiara ini sudah sejak zaman bahoela menjadi rebutan berbagai kelompok etnis, agama dan faksi. Akibatnya, Myanmar menjadi kawasan "perang sipil" berkepanjangan, dan sejumlah kelompok minoritas etnis dan masyarakat mengalami "broken lives, bitter hopes". (Saifulah Muzani, 15-16)
Pada tahun 2012 kerusuhan sektarian mengakibatkan 100 orang meninggal di Rakhine, mayoritas korban Rohingya. Itu memicu gelombang kekerasan dan pengungsian Rohingya ke Bangladesh dan berbagai negara Asia Tenggara. Saat itu, serangkaian kerusuhan komunal antara sejumlah kelompok Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya meletus dimana-mana di seantero negara bagian Rakhine di Myanmar yang dulu, di masa klasik, bernama Kerajaan Arakan. Rohingya sendiri adalah warga "pribumi" (native) Arakan, dan karena itu mereka sering disebut "Muslim Arakan" atau "India Arakan". Tetapi eksistensi Rohingya ditolak di Myanmar sehingga menyebabkan mereka menjadi salah satu kelompok etnis yang tidak memiliki negara (katakanlah, "bangsa tanpa negara"), sama seperti etnik Kurdi atau Berber di Timur Tengah.
Kerusuhan antar-kedua kelompok agama itu semakin memburuk, sejak pemerintah mendeklarasikan status darurat atas Rakhine sehingga melegalkan intervensi militer (disebut Tatmadaw) dalam "menangani" kerusuhan komunal berdimensi agama itu. Celakanya, militer dan polisi yang berasal dari kelompok etnis mayoritas di Myanmar (terutama Bamar, Mon, dan Rakhine sendiri) bukannya "mengatasi masalah" dengan menciptakan ruang-ruang atau "titik temu" kedua kelompok untuk berdialog dan mengakhiri pertikaian, melainkan justru semakin memperuncing dan memperburuk situasi lantaran mereka juga terlibat dalam aksi kekerasan tersebut.
Tragedi Rakhine 2012" ini yang kemudian berlanjut di tahun-tahun berikutnya, termasuk serangkaian aksi kekerasan Buddha�Muslim belakangan ini, telah menyebabkan ribuan orang tewas, ratusan ribu warga mengungsi, ribuan rumah hangus terbakar, dan tak terhitung lagi berapa nilai properti yang hancur-lebur berantakan dimusnahkan oleh massa yang sedang emosi, marah dan kalap.
Tahun 2015 menjadi "puncak penderitaan" bagi warga Rohingya ketika Presiden Thein Sein, karena mendapat tekanan dari kelompok nasionalis-ekstrimis Buddha Burma 969, mendeklarasikan bahwa kartu identitas Rohingya tidak berlaku dan menganggap Rohingya sebagai "orang Bengali" (Bangladesh). Asal-usul atau "nenek moyang" Rohingya yang diyakini dari Bangladesh itu kemudian jadi perdebatan dan karena itu dijadikan sebagai alasan oleh berbagai kelompok militan-nasionalis, baik yang berbasis agama Buddha (seperti kelompok MaBaTha), etnis (Bamar dan lainnya), militer (Tatmadaw), faksi politik  (Arakan Nationalist Party, United League of Arakan, Arakan Liberation Part, dlsb), untuk mendelegitimasi Rohingya. Berbagai kelompok ini menganggap Rohingya sebagai kelompok etnis berbahaya yang bisa mengancam eksistensi Myanmar dan umat Buddha.
Kekhawatiran berbagai kelompok militan-nasionalis atas Rohingya ini bukan tanpa alasan. Rohingya sendiri sejak tahun 1998, membentuk sejumlah kelompok milisi bersenjata untuk melawan pemerintah seperti Rohingya Solidarity Organization, Arakan Rohingya Islamic Front (yang kemudian bergabung mendirikan Arakan Rohingya National Organization beserta sayap militernya Arakan National Army). Kelompok milisi separatis Rohingya mutakhir yang konflik dengan militer dan pemerintah adalah Arakan Rohingya Salvation Army.
Pada tahun 2017 konflik terjadi kembali. Jumlah pengungsi Rohingya yang menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sangat besar. Disebutkan, hingga saat itu sudah lebih dari 123.000 warga Rohingya telah meninggalkan lokasi kekerasan di Rakhine, Myanmar, sejak 25 Agustus. Kekrasan terbaru itu meletus sejak terjadinya serangan militan Rohingya terhadap pos polisi Burma. Militer kemudian melancarkan serangan pembalasan yang memaksa penduduk Rohingya keluar menyelamatkan diri dari desa mereka. Banyak yang telah meninggalkan wilayah Rakhine menjelaskan bahwa tentara Burma dan kelompok massa Budha menghancurkan desa-desa mereka dan menyerang dan membunuh warga sipil untuk memaksa mereka keluar.
Pihak militer mengatakan mereka sekadar menumpas militan Rohingya yang menyerang warga sipil. Memverifikasi situasi di lapangan secara independen sangatlah sulit karena akses dibatasi, namun sejak serangan di pos polisi itu banyak keluarga yang akhirnya mengungsi ke arah ke utara menuju Bangladesh. PBB mengatakan bahwa gelombang pengungsi baru akan membutuhkan makanan dan tempat bernaung yang melonjak secara dramatis. Dua kamp penampungan pengungsi yang dibangun PBB untuk mereka saat ini penuh, sehingga banyak orang tidur di luar atau membangun tempat bernaung di lapangan terbuka dan sepanjang jalan, kata seorang juru bicara. Kebanyakan orang berjalan 50-60km selama enam hari untuk mencapai lokasi aman dan sangat membutuhkan makanan dan air, kata laporan situasi PBB.
Sementara itu berbagai suara keprihatinan muncul dari para pemimpin dunia. "Pihak keamanan perlu segera menghentikan segala bentuk kekerasan di sana dan memberikan bantuan kemanusiaan dan bantuan pembangunan untuk jangka pendek dan panjang," kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. Menteri Retno bertemu pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, pada Senin (4/9) dan akan tiba di ibu kota Bangladesh hari ini. Pakistan dan Malaysia juga telah angkat bicara, sementara Maladewa telah menghentikan sementara perdagangan dengan Myanmar. Warga India, Chechnya dan bagian Kashmir yang dikuasai India juga melangsungkan unjuk rasa sementara Kyrgyzstan telah menunda pertandingan kualifikasi sepakbola Asian Cup dengan Myanmar, akibat adanya kemungkinan protes. Seorang pejabat HAM senior PBB mengatakan bahwa sudah saatnya Suu Kyi mengambil tindakan melindungi Rohingya. Suu Kyi, penerima Nobel Peace yang dikenakan tahanan rumah selama bertahun-tahun untuk aktivitas pro demokrasinya, belum berkomentar akan kekerasan yang terbaru ini.
Myanmar di putus bersalah melakukan kejahatan genosida terhadap Rohingya
Pemerintah Myanmar diputuskan bersalah karena dianggap secara sengaja telah melakukan State Crime dan Genosida terhadap minoritas seperti Rohingya dan Kachin. Pendapat ini dilayangkan oleh putusan Permanent Peoples' Tribunal atau Pengadilan Rakyat yang dibacakan di Kuala Lumpur Jumat (22/9). "Dengan bukti-bukti kuat yang dihadirkan, persidangan telah mencapai konsensus bahwa Pemerintah Myanmar terbukti memiliki niatan untuk melancarkan genosida terhadap orang-orang Kachin dan kelompok Muslim minoritas. Selanjutnya, Pemerintah Myanmar bersalah atas kejahatan genosida terhadap Rohingya yang proses genosidanya saat ini masih terus berlanjut dan apabila tidak dihentikan maka jumlah korban akan semakin tinggi," ucap Majelis Hakim Daniel Feirstein yang dikutip kumparan dari laman resmi Myanmar tribunal.
Salah satu hakim, Nursyahbani Katjasungkana, menuturkan bahwa Peoples' Tribunal menjadi langkah penting untuk mendorong penyelesaian kasus Rohingya di tengah kemandekan  penyelesaian.Putusan ini juga memperkuat indikasi genosida yang telah digaungkan oleh banyak lembaga atas penderitaan Rohingya di Myanmar. Realita ini telah banyak diangkat oleh berbagai pihak mulai dari negara hingga aktor non-negara, termasuk PBB, sejak konflik menjadi perhatian internasional tahun 2012.

DAFTAR PUSTAKA
1.      M. Ali kettani.2005. Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini. Raja Grafindo Persada. Jakarta
2.      Saifulah Muzani.1933. Pembangunan dan Pembangkitan Islam di Asia Tenggara. Pustaka LP3ES. Jakarta
3.      Tahir Amiin. 2002. "Myanmar" dalam Jhon L.Elposito. Ensiklopedi Oxford. Dunia slam Modern. Bandung
4.      Dapice, David (June 2015). "Fatal Distraction from Federalism: Religious Conflict in Rakhine" (PDF). Harvard Ash Center.
5.      "Who Are the Rohingya?". About Education. 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 November 2012. Diakses tanggal 8 March 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar