Senin, 08 Januari 2018

CUT NYAK DIEN

ALFIAH/ 16B/SI3


Cut Nyak Dien merupakan seorang wanita yang dengan keberaniannya menantang para penjajah Belanda pada masa perang Aceh. Aceh adalah daerah dimana banyak terlahir para perempuan yang gigih, tangguh, dan pemberani yang tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien ialah salah satu dari perempuan berhati baja yang usianya lanjut masih dapat mencabut rencong dan berjuang melawan pasukan kolonial belanda sampai akhirnya ia di tangkap dan di buang. Sebagai pahlawan wanita Indonesia walaupun dia seorang perempuan namun memiliki semangat juang yang tinggi serta rela mengorbankan kehidupan bahkan nyawanya untuk membela kaum dan negaranya. Menjadi pahlawan Nasional sangat pantas jika di sematkan pada nama beliau.

Cut Nyak Dien lahir di Lampadang Kerajaan Aceh, pada tahun 1850. Beliau meninggal dunia di wilayah pengasihannya pada tanggal 6 November 1908, Sumedang Jawa Barat, dan dimakamkan di gunung puyuh. Beliau merupakan anak Ulubalang (golongan bangsawan dalam masyarakat Aceh yang memimpin sebuah Kabupaten) yang bernama Nanta Setia, sang ayah juga merupakan keturunan dari Datuk Makhudum Sati yang merupakan perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika Kesultanan Aceh di perintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, ayah Cut Nyak Dien merupakan keturunan Minangkabau. Sedangkan ibunya merupakan putri dari Ulubalang Lampagar. Cut Nyak Dien di lahirkan di tengah-tengah keluarga bangsawan yang mempunyai pondasi agama yang kuat.

Kehidupan Awal Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien memiliki sebuah garis keturunan yang tercatat memang menomor satukan perintah agama. Keluarganya juga bukan rakyat biasa, ia lahir dari garis keluarga bangsawan. Daerah dimana ia di lahirkan dalam beberapa literatur disebut dengan wilayah VI mukim, yang tercatat dalam momen kelahirannya hanya tahunnya saja, yaitu 1848. Kerta Wijaya (2002:57)
Terlahir dari keturunan bangsawan, Cut Nyak Dien memperoleh pendidikan bidang agama dan keahlian hidup yang baik dari orang tuanya dan gurunya. Orang tuanya mengajarkan beliau untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Diajarkannya mulai dari memasak, mengurus suami, serta hal-hal kecil lainnya terkait kehidupan rumah tngga. Ia juga mendapat pengajaran agama yang mumpuni dari guru ngajinya.
Cut Nyak Dien tumbuh menjadi gadis yang cantik dan di sukai banyak pemuda di wilayahnya. Banyak yang datang melamarnya. Kemudian orang tuanya menikahkan beliau dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, mereka menikah pada tahun 1862. Cut Nyak Dien menikah pada usia 12 tahun. Suaminya merupakan putra dari Uleebalang Lamnga XIII. Dari pernikahannnya ini, Cut Nyak Dien di karuniai seorang anak laki-laki. Bersama suami, beliau kemudian berjuang melawan Belanda.

Perjuangan Melawan Belanda
             Belanda pertama kali melancarkan serangan ke Aceh pada tanggal 26 Maret 1873. Dari kapal perangnya yang diberi nama Citadel Van Antwerpen, Belanda mulai menembakkan meriam dan menggempur wilayah Aceh. Rakyat Aceh tentu tidak tinggal diam, mereka juga melancarkan serangan balik yang di pimpin oleh panglima Polim dan Sultan Mchmud Syah pada tahun 1873-1874. Saat itu, penjajah Belanda di pimpin oleh Johan Harmen Rudolf Kohler, mereka menyerbu Aceh dengan jumlah prajurit mencapai 3.198. hal pertama ketika penjajah Belanda mulai menyerang Aceh adalah menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Mereka mendarat melalui pantai Ceureumen. Belanda Langsung membakar Masjid Raya Baiturrahman. Cut Nyak Dien melihatnya dan tidak tinggal diam. Ia langsung membangkitkan rasa perjuangan rakyat Aceh dengan berteriak keras : "Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadah kita di rusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah!! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadibudak Belanda?".
            Pada saat itu, Kesultanan Aceh mampu memukul mundur penjajah Belanda. Kohler yang menjadi pemimpin mereka pun tewas dalam pertempuran karena tertembak. Alhasil Kesultanan Aceh berhasil memenangkan pertempuran pertama, suami Cut Nyak Dien yang bertempur dijajaran terdepanpulang dengan tersenyum. Perang ini terjadi pada April 1873. Namun berikutnya, Belanda melancarkan serangan kembali pada tahun 1874-1880. Pada tahun 1873 wilayah VI mukim dapat di lumpuhkan oleh Belanda di bawah pimpinan Jendral Jan Van Swieten. Penjajah Belanda juga menguasai Keraton Kesultanan Aceh pada tahun 1874. Ini membuat rakyat Aceh tidak memiliki lagi tempat yang aman untuk ditinggali. Rakyat Aceh akhirnya memilih mengungsi pada tanggal 24 Desember 1875, yang di utamakan mengungsi adalah ibu-ibu dan anak-anak, Cut Nyak Dien juga ikut dalam rombongan pengungsi. Sedangkan suaminya bersama para lelaki lain berjuang melawan penjajah Belanda guna mengembalikan Kesultanan Aceh dengan merebut wilayah VI mukim. dalam pertempuran ini, Ibrahim Lamnga, suami Cut Nyak Dien gugur dalam medan pertempuran. Ibrahim Lamnga tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Inilah titik dimana Cut Nyak Dien mengambil ikraruntuk tidak akan berhenti memperjuangkan Aceh dan menghancurkan penjajah Belanda.
           
Perlawanan Cut Nyak Dien Terhadap Belanda (Perang Aceh)
            Dicatatan perjalanan hidup Cut Nyak Dien, setelah kematian suaminya. Ia menikah untuk kedua kalinya dengan seorang tokoh perjuangan Aceh yang sangat di segani yang bernama Teuku Umar. Meskipun pertamanya Cut Nyak Dien menolak lamaran dari Teuku Umar, namun kemudian ia menerimanya juga setelah calon suaminya itu tetap akan mengizinkan ia guna menumpaskan Belanda. Mereka menikah pada tahun 1880. Pernikahan ini disambut baik oleh rakyat Aceh dan Menambah gairah semangat perjuangan rakyat Aceh dalam melawan penjajah Belanda. Dari pernikahan dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dien di karuniai seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah itu mereka bersama-sama bertempur melawan Belanda.
            Di mulai dari awal lagi, mereka menggalang kembali kekuatan dan mengumpulkan segenap pejuang Aceh yang lainnya. Perang dilanjutkan dengan sistem Gerilya dan di kobarkan perang fisabilillah, sehingga bisa membuat panik pasukan Belanda yang berada di Aceh. Perang ini tidak hanya perjuangan dalam mengusir penjajah Belanda, namun juga merupakan upaya untuk menegakkan agama Allah dan dinamakan perang Fi'sabilillah yaitu perang dijalan Allah melawan orang kafir Belanda.
            Dalam masa perjuangan tersebut, Cut Nyak Dien sempat mendapatkan umpatan dari Cut Nyak Meutia karena strategi suaminya Teuku Umar yang berpura-pura menyerahkan diri pada Belanda dan bekerja sama dengan mereka. Mestinya kalau komunikasi berjalan dengan baik Cut Nyak Meutia tidak melakukan hal itu, karena Teuku Umar hanya bersiasat saja.
            Langkah awal yang di ambil Teuku Umar adalah mendekati Belanda dan membangun hubungan yang kuat antara keduanya, semua ini dilakukan guna mendapat kepercayaan Belanda. Dan semuanya mencapai puncak ketika Teuku Umar bersama 250 pasukannya menyerahkan diri kepada Belanda dan mengaku berniat ingin bergabung dengan Belanda. Ini dilakukan pada tanggal 30 September 1893. Belanda yang pastinya sangat menyetujui dengan langkah yang di ambil oleh Teuku Umar ini langsung menganugerahi ia dengan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Selain itu, Belanda juga memberikan kekuasaan penuh kepada Teuku Umar untuk menjadi komandan unit pasukan Belanda.
            Namun strategi yang di ambil oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dien ini bukan tanpa pertentangan. Banyak rakyat Aceh mengira bahwa mereka telah menghianati Aceh. Sambil terus mempelajari taktik perang yang dipakai oleh Belanda. Dingga pada saat orang Aceh merasa cukup, Teuku Umar merencanakan untuk menggempur Aceh. Tentu ini di maksud dalam upaya untuk mengelabuhi Belanda. Maka, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien bersama dengan pasukan serta peralatan perang lengkap berangkat ke Aceh. Namun, ternyata mereka ditak pernah kembali lagi ke Belanda.
            Penghianatan Teuku Umar dikenal dengan Het Verraad Van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar). Belanda mencari cara agar dapat melumpuhkan kekuatan Aceh. Maka diketahui bahwa Teuku Umar akan menyerang Belanda pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur dalam perang tersebut. Dengan usia yang sudah menua, Cut Nyak Dien terus berjuang melawan Belanda hingga akhirnya tertangkap oleh Belanda. Didalam tahanan, Cut Nyak Dien dijuluki dengan nama "Ibu Perdu", perempuang yang memiliki pemahaman agama yang mumpuni. Karena faktor usia, Cut Nyak Dien meninggal di Sumedang pada tanggal 6 November 1908. Atas semua jasa besarnya dalam melawan Belanda, pemerintahan Soekarno menganugerahinya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No. 106 Tahun 1964, tepatnya pada tanggal 2 Mei 1964. Gelar pahlawan ini sendiri atas pengajuan Gubernur Aceh saat itu yaitu Ali Hasan.

Masa Tua dan Kematian
            Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di rumah sakit disana, sementara itu Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
            Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
            Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.
            Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.

Daftar Pustaka :
Ibrahim Muchtaruddin, 2001. Cut Nyak Dien, Jakatra: Balai Pustaka.

Komandoko Gamal, 2007. Kisah 124 Pahlawan dan Perjuangan Nusantara. Yogyakarta: Media Pressindo.


Martha, A. G. 1992. Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Kurnia Esa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar