Selasa, 26 Desember 2017

PERJUANGAN SERTA PENGASINGAN SYEKH YUSUF ABUL MAHASIN TAJUL KHALWATI AL-MAKASSARI AL-BATANI


DEVI WAHYUNI/P IPS/16(A)SI III
Macassar, nama kota kecil di Afrika Selatan, di mana ini adalah tempat pengasingan terahir serta tempat peristirahatan terakhir pahalawan nasional  Syekh Yusuf Al-Makassari. Dinamakan seperti itu sebagai bentuk penghormatan atas segala jasa dan penghormatan Syekh Yusuf yang berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. Ia merupakan seorang ilmuan, sufi, penulis, dan komandan perang abad ke-17.
Syeikh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, pada tanggal 03 Juli 1626 bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H, riwayat atas penetapan tanggal tersebut telah menjadi riwayat tradisi masyarakat Sulawesi Selatan, hal ini berarti beliau lahir setelah 20 tahun pengislaman Kerajaan kembar Gowa dan Tallo. Dengan nama Muhammad Yusuf. Nama tersebut merupakan pemberian Sultan Alauddin, yaitu seorang Raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang Monconglo'E, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal [saudara] dan ayahnya bernama Abdullah. Pemberian nama ini sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil telah menjadi anak angkat Raja Gowa pada saat itu.
Syekh Yusuf sejak kecil beliau mulai di ajarkan hidup secara Islam. Beliau mendapatkan pendidikan mengenai bacaan Al-Quran melalui seorang guru mengaji bernama Daeng ri Tasammang, setelah fasih membaca Al-Quran. Beliau belajar di pondok Pesantren Botoala untuk menuntut ilmu Isalam, pesantren ini didirikan pada tahun 1634 yang dipimpin seorang ulama dari Yaman bernama Ba'Alawy bin Abdullah[al-Allamah Tahir].  Syekh Yusuf juga melanjutkan belajar di pondok Pesantren Cikoang pada Syekh Jalaludin Al-Aidit seorang ulama Aceh.
Di usia 18 tahun beliau terus berkeinginan  melanjutkan untuk menuntut Ilmu ke  Jazirah Arab[Mekah]. Sebelum niat itu terwujud ia harus memenuhi suatu adat, karena ia bagian dari keluarga kerajaan, supaya dapat membekali diri.
Tanggal 22 September 1644 M, Beliau berangkat dengan menumpang Kapal Melayu, Malaka dengan tujuan untuk menuntut ilmu di Jazirah Arab[Mekah,Madinah]. Karena jalan pelayaran niaga pada waktu itu mesti melalui laut jawa dan transit di Banten[Jawa Barat], maka dari itu beliau ikut singgah di Pusat bandara Kesultanan Banten, dalam persingahan inilah ia berkenalan dengan ulama dan tokoh agama serta orang �orang besar Banten, Abdul Fattha[putra mahkota Banten], anak Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Kadir[sultan Banten].
Setelah berada lama di Banten, Beliau melanjutkan perjalanannya ke Acah Darussalam sebelum ke Jazirah Arabia, di sini Beliau berkanalan dengan tokoh ulama. Waktu yang di habiskan selama di Banten serta Acah kurang lebih 5 tahun. Dan diperkirakan tahun 1649 M Beliau berangkat ke Arab.
Beliau menuju Yaman dan belajar di sana atas saran gurunya di Aceh, dan berguru pada Syekh Abu Abdillah Muhammad Abdul Baqi, dan  al-Zbaidiy dan menerima Ijazah dan silsilah Khalifah tarekat keluarga ulama al-Sadah al-Ba'aiawiyyah. Lalu Beliau melanjutakan perjalanan ke Kota Suci Mekah untuk melakukan Ibadah Haji. Lalu ke Madinah berguru dengan tiga ulama. Beliau bergerak lagi ke Negeri Syam [Damshiq] dengan tujuan yang sama. Beliau berjalan lagi ke Istambul [Turki] setelah menimba ilmu di sini, Beliau kembali lagi ke Mekah dan menetap beberapa lama di sana.
Setelah menganggap selesai melakukan pertualangan menuntut ilmu, maka beliau memutuskan untuk kembali dan menjadi juru dakwah di Makassar, sat itu usia Beliau menginjak 38 tahun, harapan-harapan dan rencana yang telah di susun untuk di kembangkan di Makassar berantakan. Karenan sesampainya di kampung halaman, Beliau menyaksikan kehancuran Kerajaan Gowa pasca kekalahan perang melawan Belanda, di bawah kekuasaan Belanda, maksiat merajalela di mana-mana. Usaha Syekh Yusuf untuk menasehati pihak Kesultanan pun tak berhasil, Beliau memutuskan hijrah ke Banten yang memang sejak dari Mekah Sultan Banten telah memintanya untuk datang ke sana.
Beliau sampai di Banten dan merasakan, bahwa Banten telah berbeda denagan 15 tahun lalu sejak ia meninggalakan sahabatnya pangeran Surya yang telah menjadi Sultan Banten dengan nama Sultan Abdul Fattah yang dikenal Sultan Tirtayasa. Syekh Yusuf diangkat oleh Sultan Abdul Fattah menjadi Mufti Kesultanan dan kemudian di nikahkan dengan putrinya yang bernama Siti Syarifah. Dengan status barunya, maka memudahkan Syekh Yusuf dalam melakukan dakwah. Murit Beliau banyak tersebar sampai pelosok-pelosok luar Banten. Beliau juga menjadi pengayom bagi masyarakat Makassar yang lari karena kecewa terhadap perjanjian Bongaya.
Isi dari perjanjian tersebut, yang merugikan rakyat Makassar:
1.      Wilayah Makassar terbatas pada Goa. Wilayah Bone dikembalikan kepada Aru Palaka.
2.      Kapal Makassar dilarang berlayar tanpa izin VOC.
3.      Makassar tertutup dari semua bangsa, kecuali VOC dengan hak monopolinya.
4.      Semua benteng harus di hancurkan, kecuali satu yakni Benteng Ujung Pandang yang kemudian namanya diganti menjadi Benteng Rotterdam.
5.      Makassar harus mengganti kerugian perang sebesar 250 ribu ringgit.                        ( Dwi Ari Listyani 2009:75 )
Di awal tahun 1682 Bantenpun Bergejolak, semenjak kepulangan Sultan Haji putra Mahkota yang di beri sedikit kekuasaan yang berarti tempat tinggal yang terpisah. Belanda pun melakukan aksi 'adu dombanya' karena serangan Belanda ke Banten selalu di patahkan putra Sultan yakni Pangeran Purbaya selaku Panglima Militer saat itu.
Aksi adu domba milik Belanda berhasil dengan, dimulainya serangan ke Kraton Surosowan [Kraton Sultan Haji] hingga datanglah bala bantuan Belanda dari Batavia yang saat itu Belanda lebih berkonsentrasi terhadap Banten karena Makassar telah jatuh ke tanggan Belanda. Sampai di bulan Desember 1682 Kraton Tirtayasa tidak dapat terselamatkan, kraton ini di tinggalakan dan Pangeran Tirtayasa melakukan taktik Perang Gerilya, sampai 14 Maret 1683 tercatat penyerahan diri Sultan Ageng Tirtayasa ke Kraton Surosowan dan ditangkap oleh Belanda kemudian di bawa ke Batavia dan wafat di sana tahun 1692 M.
Perang Griliya yang dimulai Sultan Tirtayasa di lanjutkan oleh Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul yang memimpin 5000 pasukan termasuk 1000 Laskar Makassar, Bugis dan Melayu yang siap mati bersama gurunya.  Syekh Yusuf bergerak kearah timur sampai Padalarang lalu berbelok kearah pesisir selatan, sampai daerah Desa Karang, di sini Beliau bertemu dan dibantu Syekh Abdul Muhyi [Hadjee Karang] dan beserta laskarnya.
Kemenangan Sultan Haji merupakan kehancuran Kerajaan Banten, karane selanjutnya Kerajaan Banten berada di bawah pengawasan pihak Belanda. Dengan demikian, Sultan Haji hanyalah sebagai lambang belaka [raja boneka] dalam pemerintahan Raja Banten, karena keseluruhan kekuasaan diatur oleh Belanda ( I Wayan Badrika 2006:55)
Dalam kebersamaan inilah Syehk Muhyiberguru kepada Syekh Yusuf tentang penafsiran ayat-ayat Al- Quran. Setelah melakukan perang Grilia selama 2 tahun lamanya, akhirnya Syekh Yusuf ditangkap dengan kondisi seluruh pengikut-pengikutnya di pulangkan kecuali 49 yang turut serta, yaitu 2 orang istri, 2 abdi istri,12 santri dan putra-putri, sahabat dan para abdi dalem.
Belanda membawa rombongan Syekh Yusuf ke Cirebon untuk kemudian di bawa ke Batavia. Melihat besarnya charisma  Syekh Yusuf maka ada kekhawatiran belanda, dan ditambahkan kerajaan Bone di bawah pimpinan Aru Palaka [ raja bone ke-15 ada hubungan kekerabatan] sedang melakukan perlawana. Maka belanda memutuskan untuk mengasingkan Syekh Yusuf berserta rombongan pada tanggal 12 September 1684 ke wilayah Srilangka.
Dalam waktu yang singkat nama Beliau di kenal di sana. Selama berada di sana Beliau menggunakan waktunya untuk beramal, megajar dan menulis risalah-risalah,banyak muritnya yang berasal dari Hindustan [India] dan Srilangka sendiri. Dan membawa namanya termasyur di India. Kaisar Hindustan Aurangzeb Alamgir [1659-1707] yang mencintai kehidupan mistik sangat menghormatiny. Kaisar ini pernah menyurati kepada wakil pemerintah Belanda di Srilangka, supaya kehormatan pribadi Syekh Yusuf  itu dipelihara, karena jika tuan itu diganggu akan menggelisahkan umat Islam Hindustan.
Srategi perjuangananya pun berubah dari perang fisik kepada semagat kesgamaan dan semangat perjuangan. Sebaliknya jemaah Haji Indonesia biasanya mereka singgah di Ceylon [Srilangka] untuk menunggu musim barat selama 1-3 bulan. Dalam kesempatan ini lah jemaah haji terbarukan dan belajar kepada Syekh Yusuf. Selain itu juga disisipkan dengan pesan-pesan Politik, agar tetap mengadakan perlawanan terhadap B elanda dan juga pesan-pesan Agama supaya tetap berpegang teguh pada jalan Allah.
Syekh Yusuf menitipkan pesan pada Raja dan Rakyat Banten dan Makassar lewat surat-suratnya:
         Pertama , harus berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
         Kedua, harus berpegang pada Syariat dan Hakikat, Fikih dan Tasauf, terikat Muhammadiyah dan Suluk Ahmadiah.
         Ketiga, harus selalu berfikir dan mengharapkan diri pada Allah dengan sikap Khauf dan Raja.
         Keempat, harus selalu jujur, berkata dan berbuat baik dan benar, berbudi pekerti yang luhur dan Tawakal pada Allah.
         Kelima, menghormati ulama dan cerdik pandai serta mengasihi fakir-miskin.
         Keenam, jauhi sifat-sifst takabur, bangga diri dan anggkuh.
         Ketujuh, usahakan selalu bertobat dan selalu berzikir kepada Allah.
Surat-surat ini kabaranya, surat yang di kirim kepada Raja Banten dan Makasar tercium oleh pemerintahan Belanda di Batavia. Dikarenaksn pemberontakan rakyat di Banten dan Raja Gowa ke-19 menyebabkan pemerintah Belanda mencari latar blakangnya, akhirnya ditarik kesimpulan bahwa pemberontakana ini erat kaitanya dengan Syekh Yusuf. Berupa risalah-risalah dan pesan-pesan yang mengunakan nama samara.
Akhirnya di putuskan Syekh Yusuf dan 49 rombongannya untuk di pindahkan dari Ceylon ke Kaap [Afrika Selatan]. Dan pemindahan dilaksanankan pada tanggal 7 Juli 1693 setelah 9 tahun di Ceylon di usia 68 tahun, dengan menaiki kapal 'Voetboeg'. Dan sampai di pantai afrika pada tanggal 2 April 1994, selam 8 bulan 23 hari perjalanan.
Tapi api perjuangan tidak pernah padam oleh ruang dan waktu Beliau tetap mengobarkan semangat warga Afrika Selatan untuk merdeka dan membentuk suatu komunitas muslim disana yang memang menjadi daerah buangan politik tempat itu sekarang dikenal dengan Macassar Faure.
Syekh Yusuf meninggal pada tanggal 23 Mei 1699 pada usia 73 tahun setelah 5 tahun di Afrika Selatan dimakamkan di daerah Faure, lalu jenazah Syekh Yusuf dan keluarganya dipulangkan dan tiba di Makassar [Gowa] atas permintaan Sultan Abdul Jalil . Beliau di makamkan di Lakiung pada hari selasa tanggal April 1705/12 Zulhidjah 1116 H.
 
DAFTAR PUSTAKA
Dwi Adi Listiyani. 2009. Sejarah 2 untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Jakarta: Gahardi.
Drs. I Wayan Badrika, M.Si. 2006. Sejarah jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar