Selasa, 26 Desember 2017

BIOGRAFI SULTAN ISKANDAR MUDA


TITI SUGIARTI HAREFA/SI III/016/A

Nama Lengkap : Sultan Iskandar Muda
Nama Ayahnda : Sultan Alauddin Mansur Syah
Nama Ibu : Putri Indra Bangsa
Agama : Islam
Tempat Lahir : Aceh, Banda Aceh
Tanggal Lahir : Rabu, 27 Januari 1591
Warga Negara : Indonesia

Besar dalam lingkungan istana, ketika telah cukup umur Iskandar Muda dikirim ayahnya untuk belajar pada Teungku Di Bitai, salah seorang ulama dari Baitul Mukadis pakal ilmu falak dan ilmu firasat. Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau. Selanjutnya ayah Iskandar Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan dari Gujarat. Di antaranya adalah tiga orang yang sangat berpengaruh dalam intelektual Iskandar Muda, yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Syekh Muhammad Jamani dari Mekah dan  Syekh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.
Iskandar Muda Ada 2 sumber kuat tentang tahun kelahiran Sultan Iskandar Muda sebuah manuskrip menyatakan beliau dilahirkan pada 27 Januari 1591 dan dalam hikayat Aceh Iskandar Muda dilahirkan pada tahun 1583 kedua fakta ini hingga kini masih sama-sama diperdebatkan. Ayahandanya bernama Mansyur Syah sedangkan ibunya bernama Putri Indra Bangsa anak dari Sultan Alauddin Riayatsyah Al Mukamil. Sejak masa kanak-kanak Sultan Iskandar muda yang bernama Darmawangsa Tun Pangkat itu telah menunjukkan bakat dan kecerdasannya di berbagai bidang yang sebenarnya masih sangat jarang dilakukan oleh anak-anak seusianya misalnya berburu, bermain ketangkasan berpedang, memainkan meriam dan bermain perang-perangan dengan membuat benteng. Darmawangsa Tun Pangkat tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan tangguh. Saat itu Kerajaan Aceh diperintah oleh pamannya yaitu Sultan Muda Ali Riayat Syah. Masa pemerintahan Sultan Muda kerajaan Aceh banyak mengalami ketidak teraturan, banyaknya perampokan, pembunuhan dan berjangkitnya wabah penyakit. Pada saat Kerajaan Aceh menghadapi ancaman dari Portugis dibawah pimpinan Alfonso de Castro yang kemudian menyerang Aceh Darmawasa Tun Pangkat memohon untuk dapat membantu berperang melawan Portugis. Pada peperangan ini Aceh mendapat kemenangan dan Darmawangsa Tun pangkat menjadi populer. Pada saat Sultan Ali Riayat syah meningal dunia Darmawangsa Tun Pangkat dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Aceh dan diberi gelar Sultan Iskandar Muda. Sejak itu kerajaan Aceh berangsur-angsur mengalami kejayaan. Berbagai bidang kehidupan diperbaiki. Sultan Iskandar Muda terkenal sangat tegas dan bijaksana. Dalam bidang pemerintahan Sultan Iskandar Muda menciptakan suatu bentuk kesatuan wilayah yang disebut mukim, guna mengkoordinir gampong. Tujuan pembentukkan mukim ini untuk kepentingan keagamaan, politik dan ekonomi. Sultan Iskandar Muda juga membuat ketetapan tentang tata cara yang berlaku di kerajaan Aceh yang kemudian disebut dengan "Adat Meukuta Alam". Di bidang pendidikan dan agama Islam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pelaksanaan ibadah sangat tertib, beberapa ulama dan pujangga seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Pasai hidup sebagai ulama yang ahli di bidang Tassawuf dan Teologi. Di bidang militer kerajaan Aceh masa itu terkenal dengan angkatan perang baik laut maupun pasukan darat yang dikenal dengan pasukan gajah yang sangat terlatih. Di bidang ekonomi kerajaan Aceh terkenal sangat kaya dengan perolehan hasil dari perniagaan luar negeri yang dilakukan di pelabuhan-pelabuhan Aceh dan daerah takluknya, pajak dan perkebunan (seunebok). Daerah takluk kerajaan Aceh masa Sultan Iskandar Muda di Pulau Sumatera meluas sepanjang jalur pantai pada kota-kota pelabuhan baik pada bagian timur maupun pada sebelah barat seperti Singkel, Barus, Batanghari, Passaman, Tiku, Pariaman, Padang dan Salido. Selain itu kekuasaannya juga meliputi semenanjung Melayu (Kerajaan Perak, Johor dan Pahang). Hasil yang dicapai semasa pemerintahan Sulltan Iskandar Muda diantaranya terdapat kemakmuran dan kejayaan kerajaan-kerajaan Islam di kawasan serantau yang meliputi:
1.      Menguasai selat Malaka dengan melawan atau mengusir Portugis dan negara asing lainnya yang ingin mendominasi rantau dengan cara memperkuat armada laut di kerajaan-kerajaan Islam sekawasan.
2.      Mengganggu eksistensi Portugis di Malaka dengan mengajak seluruh kerajaan-kerajaan Islam.
3.     Memberi sanksi kepada kerajaan Islam yang membantu atau bekerjasama dengan Portugis atau kekuasaan asing (Barat) lainnya.
4.    Mengendalikan harga komoditas ekspor masyarakat muslim antar benua dengan menetapkan pajak dan upeti yang sesuai, dengan demikian pedagang muslim dapat bersaing dengan pedagang asing Barat secara sehat dan mendapatkan harga komoditas standar dunia yang kompetitif dan saling menguntungkan. Kekuasaan Sultan Iskandar Muda mulai memudar setelah mengalami kekalahan saat melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Portugis di Malaka pada tahun 1629. Banyak tentara yang gugur dan kapal-kapal perang karam. Kekalahan ini sebenarnya juga disebabkan terjadi intrik dan perpecahan di kalangan pejabat militer. Antara Perdana Mentri yang memimpin peperangan ditentang oleh Laksamana sebaliknya Portugis juga telah dibantu oleh kerajaan Johor, Pahang dan Pattani yang membelot terhadap kerajaan Aceh. Perdana Mentri dan Laksamana akhirnya juga tewas dalam tawanan Portugis. Sejak itu armada laut menjadi lemah dan berangsur-angsur kerajaan menjadi kurang berpengaruh. Teungku Chik Di Tiro Adanya unsur Perang Sabil dipergunakan sebagai basis ideologi dan dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam perlawanan terhadap Belanda. Hal ini nampak bahwa kepercayaan yang ditanamkan dalam perang kolonial Belanda di Aceh oleh Teungku Chik Di Tiro ke dalam para pengikutnya adalah kepercayaan dari sudut duniawi dan akhirat. Dari sudut duniawi tertanam kepercayaan bahwa mereka akan dapat memenangkan pertempuran dan mengusir musuh sedangkan dari sudut akhirat dianggap bahwa perang ini suci.

Dinobatkan pada tanggal 29 Juni 1606, Sultan Iskandar Muda memberikan tatanan baru dalam kerajaannya. Beliau mengangkat pimpinan adat untuk tiap suku dan menyusun tata negara sekaligus qanun yang menjadi tuntunan penyelenggaraan kerajaan dan hubungan antara raja dan rakyat. Selama 30 tahun masa pemerintahannya (1606 - 1636 SM) Sultan Iskandar Muda telah membawa Kerajaan Aceh Darussalam dalam kejayaan. Saat itu, kerajaan ini telah menjadi kerajaan Islam kelima terbesar di dunia setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan Agra. Seluruh wilayah semenanjung Melayu telah disatukan di bawah kerajaannya dan secara ekonomi kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki hubungan diplomasi perdagangan yang baik secara internasional. Rakyat Aceh pun mengalami kemakmuran dengan pengaturan yang mencakup seluruh aspek kehidupan, yang dibuat oleh Iskandar Muda.
Tahun 1993, pada tanggal 14 September, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Iskandar Muda atas jasa dan kejayaannya membangun dasar-dasar penting hubungan ketatanegaraan dan atas keagungan beliau.
Sultan Iskandar Muda merupakan pahlawan nasional yang telah banyak berjasa dalam proses pembentukan karakter yang sangat kuat bagi nusantara dan Indonesia. Selama menjadi raja, Sultan Iskandar Muda menunjukkan sikapAnti-kolonialisme-nya. Ia bahkan sangat tegas terhadap kerajaan-kerajaan yang membangun hubungan atau kerjasama dengan Portugis, sebagai salah satu penjajah pada saat itu. Sultan Iskandar Muda mempunyai karakter yang sangat tegas dalam menghalau segala bentuk dominasi kolonialisme. Sebagai contoh, Kurun waktu 1573-1627 Sultan Iskandar Muda pernah melancarkan jihad perang melawan Portugis sebanyak 16 kali, meski semuanya gagal karena kuatnya benteng pertahanan musuh. Kekalahan tersebut menyebabkan jumlah penduduk turun drastis, sehingga Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan untuk menarik seluruh pendudukan di daerah-daerah taklukannya, seperti diSumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor  dan Melaka, Perak, serta Deli , untuk migrasi ke daerah Aceh inti.
Pada saat berkuasa, Sultan Iskandar Muda membagi aturan hukum dan tata negara ke dalam Empat bidang yang kemudian dijabarkan secara praktis sesuai dengan tatanan kebudayaan masyarakat Aceh.  
Pertama, bidang Hukum yang diserahkan kepada Syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil. Hukum merupakan asas tentang jaminan terciptanya keamanan dan perdamaian. Dengan adanya hukum diharapkan bahwa peraturan formal ini dapat menjamin dan melindungi segala kepentingan rakyat.
Kedua, bidang Adat yang diserahkan kepada kebijaksanaan Sultan danPenasehat. Bidang ini merupakan perangkat undang-undang yang berperan besar dalam mengatur tata negara tentang martabat hulu balang dan pembesar kerajaan.
Ketiga, bidang Resam yang merupakan urusan Panglima. Resam adalah peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan) dan diimpelentasikan melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap peraturan yang tidak diketahui kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan secara gotong-royong.
Keempat, bidang Qanun yang merupakan kebijakan Maharani Putro Phangsebagai permaisuri Sultan Iskandar Muda. Aspek ini telah berlaku sejak berdirinya Kerajaan Aceh.
Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang sangat tegas dalam menerapkanSyariat Islam. Ia bahkan pernah melakukan Rajam terhadap puteranya sendiri, yang bernama Meurah Pupok karena melakukan perzinaan dengan istri seorang perwira.Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang pengharamanriba. Tidak aneh jika kini Nanggroe Aceh Darussalam menerapkan Syariat Islamkarena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai Tasawuf.
Sultan Iskandar Muda pernah berwasiat agar mengamalkan Delapan Perkara,Sang Sultan berwasiat kepada para Wazir, Hulubalang, Pegawai, dan Rakyat di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, agar selalu ingat kepada Allah Ta'ala dan memenuhi janji yang telah diucapkan.
Kedua, jangan sampai para Raja menghina Alim Ulama dan Ahli Bijaksana.
Ketiga, jangan sampai para Raja percaya terhadap apa yang datang dari pihak musuh.
Keempat, para Raja diharapkan membeli banyak senjata. Pembelian senjata dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan dan pertahanan kerajaan dari kemungkinan serangan musuh setiap saat.
Kelima, hendaknya para raja mempunyai sifat Pemurah (turun tangan). Para raja dituntut untuk dapat memperhatikan nasib rakyatnya.
Keenam, hendaknya para raja menjalankan hukum berdasarkan Al-Qur'an danSunnah Rasul.
Ketujuh, di samping kedua sumber tersebut, sumber hukum lain yang harus dipegang adalah Qiyas dan Ijma'.
Kedelapan, baru kemudian berpegangan pada Hukum Kerajaan, Adat , Resam, dan Qanun.
Wasiat-wasiat tersebut mengindikasikan bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin yang saleh, bijaksana, serta memperhatikan kepentingan Agama, Rakyat, dan kerajaan.

Referensi :
Lombard, Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

LA MADDUKKELLENG


JAMI'ATUL KHOIRI / 16B/ PIPS

lahir: Wajo, Sulawesi Selatan, 1700
wafat: Wajo, Sulawesi Selatan, 1765
Adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di lingkungan istana Arung Matowa Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh pamannya mengikuti acara adu sambung ayam di kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan penyelenggaraan acara tersebut dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung, (ujung mulut, ujung tombak, dan ujung kemaluan) ia berhasil di negeri Pasir Kalimantan sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia berhasil menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone. La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe Inilah La Maddukelleng.
La Maddukkelleng adalah putera dari Arung Raja Peneki La Mataesdso To Ma'dettia dan We Tenriangka Arung Raja Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.
Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).
Pemerintahan La Maddukkelleng sebagai Arung Matowa Wajo berakhir ketika banyak anggota pasukannya telah jenuh berperang. Hal ini melemahkan La Maddukkelleng, dan akhirnya ia mengundurkan diri sebagai Arung Matowa Wajo.
La Maddukkelleng meninggal di Sulawesi Selatan pada tahun 1765, dimakamkan di Sengkang. Pada tanggal 6 November 1998 Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No. 109/TK/1998 menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
La Maddukkelleng bersama We Tenriangka Arung singkang, dan pengikut-pengikutnya, mula-mula berlayar dan menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat), kemudian pindah dan menetap di kerajaan Pasir, Kaltim.
Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).
Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martadipura, yang kerap pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 � 1732. setelah wafat, Adji Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng, mempunyai tiga orang putera, yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Bulungan dan Sulawesi Tengah.
Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Maohang Daeng Mangkona, La pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng punggawa. Karena tanah Wajo telah diduduki oleh kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai Muara Kendilo. Tempat pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi sesak akibat semakin bertambahnya migrasi dari tanah Wajo. Melihat hal itu, La Maddukkelleng mengadakan perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara lain, diputuskan agar sebagian pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai sebagai tanah pemukiman baru. Ketika rombongan itu sampai ke Tanah Kutai, La Mohang daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura atau Marham Pemarangan. Ia memohon agar diizinkan menetap di tanah Kutai. Tetapi, sang raja berfikir, mugkin saja orang-orang itu malah akan membuat kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal serupa berpuluh tahun lampau. Pikir punya pikir, raja Kutai akhirnya setuju dengan satu syarat, agar patuh pada perintah raja.
La Mohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang tanah ia akan mencari kehidupan di tanah Kutai, membangun daerah itu dan patuh pada titah raja. Disaksikan sejumlah pembesar kerajaan, sang raja bertitah "carilah sebidang tanah di wilayah kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan rendah dan di antara dataran rendah itu, terdapat sungai yang arusnya tidak langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara dataran itu". Orang-orang bugis itu pun berlayar sepanjang Sungai Mahakam mencari tanah seperti yang telah ditentukan raja. Setelah beberapa lama berlayar mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran rendah yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka membangun rumah rakit, berada diatas air, dan ketinggian antara rumah yang satu dengan lainnya sama. Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi "SAMARINDA". Tempat itu lalu menjadi pemukiman orang-orang bugis wajo. Letaknya tak jauh dari kampung Mangkupalas, kampung tua di kecamatan Samarinda Seberang bagian tepi Sungai Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi kompleks industri kayu lapis. Menurut cerita setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan Kampung Mangkupalas. Sebuah kampung tua yang kemudian berkembang menjadi Samarinda Seberang.
Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.
Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.
Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari.
Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.
Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.
Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Sengkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.
La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki "Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe" yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.

DAFTAR PUSTAKA

SEJARAH BERDIRINYA KABUPATEN ROKAN HULU

ANNA FASIRI BR.NASUTION/SR/15A

Kabupaten Rokan Hulu (ROHUL) merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Riau dengan ibu kotanya terletak di Pasir Pangaraian. Berdasarkan Permendagri No.66 Tahun 2011, Kabupaten Rokan Hulu memiliki luas wilayah sebesar 7.588,13 km� dengan jumlah penduduk sebanyak 513.500 jiwa. Secara administratif, kabupaten ini memiliki 16 daerah kecamatan, 7 daerah kelurahan dan 149 daerah desa. Kabupaten Rokan Hulu dikenal dengan sebutan  "NEGERI SERIBU SULUK". Kabupaten Rokan Hulu  terletak pada garis lintang 00�25'20-010�25'41 LU 1000�02'56-1000�56'59 BT.
Pada sekitar awal tahun 1900-an seorang peneliti berkebangsaan jerman Max Moszkowski pernah malakukan ekspedisi ke hulu sungai tapung dan sungai rokan atas bantuan dan rekomendasi pemerintah belanda, dia mencatat beberapa hal tentang alam dan kebudayaan masyarakat yang ditemuinya, sempat menyebut tentang raja IV koto, kepenuhan, rambah dan tambusai, bahkan mengambil foto yang di pertuan sakti raja Ibrahim, raja rambah, dan raja kepenuhan  kemudian di terbitkan dalam bukunya yang berjudul Auf neuen Wegen Druch Sumatra (1909).
Rokan adalah nama sebuah sungai yang membelah Pulau Sumatera dibagian tengah, bermuara kebagian Utara Pulau tersebut (Selat Malaka). Daerah ini adalah kawasan Kerajaan Rokan Tua, diketahui keberadaannya abad ke-13, saat itu tercatat dalam "Negara Kertagama" karangan Prapanca, yang ditulis pada tahun 1364 M.
Sampai saat ini nama Rokan juga tetap eksis sebagaimana yang dapat dilihat dalam perkembangan kerajaan Rokan Tua itu sampai sekarang. Menurut Muchtar Lutfi, Wan Saleh dalam sejarah Riau, bahwa yang menjadi Raja Rokan abad ke-14-15 adalah keturunan dari Sultan Sidi saudara Sultan Sujak yang dijelaskan dalam buku Sulalatus Salatin, yang menyatakan bahwa raja Rokan itu anak Sultan Sidi saudara Sultan Sujak.
Berdirinya Kabupaten Rokan Hulu keberadaan wilayah ini tidak bisa dipisahkan dari Kerajaan Rokandi Rokan IV Koto pada abad ke-18.Dahulunya, daerah Rokan Hulu dikenal dengan nama Rantau Rokan atau Luhak Rokan Hulu, karena merupakan daerah tempat perantauan suku Minangkabau yang ada di daerah Sumatera Barat. Rokan Hulu pada masa ini juga diistilahkan sebagai 'Teratak Air Hitam' yakni Rantau Timur Minangkabau di sekitar daerah Kampar sekarang. Hal ini mengakibatkan masyarakat Rokan Hulu saat ini memiliki adat istiadat serta logat bahasa yang masih termasuk ke dalam bagian rumpun budaya Minangkabau. Terutama sekali daerah Rao dan Pasaman dari wilayah Propinsi Sumatera Barat. Sementara di sekitar Rokan Hulu bagian sebelah Utara dan Barat Daya, terdapat penduduk asli yang memiliki kedekatan sejarah dan budaya dengan etnis Rumpun Batak di daerah Padang Lawas di Propinsi Sumatera Utara. Sejak abad yang lampau, suku-suku ini telah mengalami Melayunisasi dan umumnya mereka mengaku sebagai suku Melayu.
Sejarah Kabupaten Rokan Hulu Zaman Penjajahan Belanda
Sebelum kemerdekaan yakni pada masa penjajahan Belanda, wilayah Rokan Hulu terbagi atas dua daerah: 
  •  Wilayah Rokan Kanan yang terdiri dari Kerajaan Tambusai, Kerajaan Rambah dan Kerajaan Kepenuhan.
  • Wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kunto Darussalam serta beberapa kampung dari Kerajaan Siak (Kewalian negeri Tandun dan kewalian Kabun)
Kerajaan-kerajaan di atas sekarang dikenal dengan sebutan Lima Lukah. Kerajaan-kerajaan tersebut dikendalikan oleh Kerapatan Ninik Mamak, sementara untuk penyelenggaraan pemerintahan di kampung-kampung diselenggarakan oleh Penghulu Adat. Sering dikenal dengan istilah 'Raja itu dikurung dan dikandangkan oleh Ninik Mamak'. Pada tahun 1905, kerajaan-kerajaan di atas mengikat perjanjian dengan pihak Belanda. Diakuilah berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut sebagai landscape. Setiap peraturan yang dibuat kerajaan mendapat pengesahan dari pihak Belanda.Pada masa penjajahan Belanda tersebut, bermunculan tokoh-tokoh Islam yang anti dengan Belanda. Beberapa diantarnya yang cukup fenomenal dan dikenang oleh masyarakat Riau dan nasional adalah Tuanku Tambusai, Sultan Zainal Abidinsyah, Tuanku Syekh Abdul Wahab Rokan dan sebagainya. Perjuangan para tokoh tersebut dibuktikan dengan adanya peninggalan sejarah seperti Benteng Tujuh Lapis yang merupakan benteng yang dibuat masyarakat Dalu-dalu atas perintah dari Tuanku Tambusai. Beberapa bukti sejarah lainnya adalah Kubu jua, Kubu manggis, Kubu joriang dan sebagainya. 
Sejarah  Kabupaten Rokan Hulu Zaman Penjajahan Jepang
Setelah Belanda mengalami kekalahan dengan Jepang, Jepang pun berkuasa di Indonesia termasuk di daerah Rokan Hulu. Pada masa Jepang, pemerintahan berjalan sebagaimana biasanya. Akan tetapi setelah beberapa orang raja ditangkap oleh penjajah Jepang, maka pemerintahan dilanjutkan oleh seorang 'kuncho' yang diangkat langsung oleh pihak Jepang.
Sejarah Kabupaten Rokan Hulu Zaman Pasca Kemerdekaan RI
Setelah kemerdekaan, daerah-daerah yang dijadikan landscape oleh Belanda dan Jepang tersebut dijadikan sebagai satu daerah Kecamatan. Sebelum menguatnya isu pemekaran daerah di Indonesia pada tahun 1999, Rokan Hulu tergabung dalam Kabupaten Kampar, Riau. Kabupaten Rokan Hulu resmi didirikan pada tanggal 12 Oktober 1999 berdasarkan UU Nomor 53 tahun 1999 dan UU No 11 tahun 2003.
Kabupaten Rokan Hulu terdiri dari 16 kecamatan, yaitu sebagai berikut :
  • Kecamatan Bangun Purba
  • Kecamatan Kabun
  • Kecamatan Kepenuhan
  • Kecamatan Kunto Darussalam
  • Kecamatan Rambah
  • Kecamatan Rambah Hilir
  • Kecamatan Rambah Samo
  • Kecamatan Rokan IV Koto
  • Kecamatan Tambusai
  • Kecamatan Tambusai Utara
  • Kecamatan Tandun
  • Kecamatan Ujungbatu
  • Kecamatan Pagaran Tapah Darussalam
  • Kecamatan Bonai Darussalam
  • Kecamatan Kepenuhan Hulu
  • Kecamatan Pendalian
Rokan Hulu terdiri dari 5 kerajaan, yaitu :
         Kerajaan Tambusai ibu negerinya Dalu-dalu,
         Kerajaan Rambah  ibu negerinya Pasirpengarayan,
         Kerajaan Kepenuhan ibu negerinya Kototongah,
         Kerajaan Rokan IV Koto, ibu negerinya Rokan,
         Kerajaan Kuntodarussalam ibu negerinya Kotolamo.
Pada masa kolonial wilayah Rokan Hulu dibagi menjadi dua yaitu:
Wilayah Rokan Kanan terdiri dari 3 kerajaan
         Kerajaan Tambusai
         Kerajaan Rambah
         Kerajaan Kepenuhan
Wilayah Rokan Kiri menjadi 2 kerajaan yaitu :
         Kerajaan Rokan IV Koto
         Kerajaan Kuntodarussalam dan ditambah kampung dari Kerajaan Siak yaitu Kewalian      Tandun dan Kabun.
    
     ARTI LAMBANG 
     Lambang Kabupaten Rokan Hulu berbentuk oval dan terdiri atas 8 (delapan) bagian, yaitu : 
1.        Payung bertangkaikan keris, memiliki makna semangat keberanian serta kemampuan untuk mencapai cita-cita Pembangunan.
2.         Keris teracung keatas melambangkan semangat untuk pencapaian tujuan akan prospek masa depan.
3.         Bintang, memiliki makna masyarakat Kabupaten Rokan Hulu berpegang teguh kepada ajaran agama.
2.        12 butir padi, 10 bunga kapas dan 9 gundukan bukit dengan 9 bayangan Nya, memiliki makna Kabupaten Rokan Hulu yang makmur, sejahtera dan bersahabat yang berdiri pada tanggal 12-10-1999.
3.         Benteng Tujuh Lapis, memiliki makna semangat juang masyarakat Kabupaten Rokan Hulu dalam membela marwah seperti perjuangan Tuanku Tambusai.
4.        Lingkaran, memiliki makna bahwa masyarakat yang terdiri dari berbagai suku diikat oleh tali persahabatan yang kokoh.
5.        Tiga buah sungai, memiliki makna gerak semangat pembangunan yang tak pernah surut.
6.        Pita Putih bertuliskan Kabupaten Rokan Hulu, memiliki makna kesucian hati dan tenggang rasa masyarakat
WARNA LAMBANG:
 Warna yang dipergunakan dalam Lambang Kabupaten Rokan Hulu yaitu :
1.       Warna Merah, melambangkan keberanian dalam memperjuangkan kebenaran. Warna Putih, melambangkan kesucian hati dan kejujuran.
2.      Warna Hijau, melambangkan kesejukan dan kedamaian.
3.       Warna Kuning, melambangkan kebesaran dan kejayaan masyarakat Kabupaten Rokan Hulu.
4.       Warna Biru Muda, melambangkan kesegaran


DAFTAR PUSTAKA
M.Ag,Nurzena, kabupaten rokan hulu,pemerintah kabupaten rokan hulu, cetakan 2007
Syam Juanidi ,sejarah kerajaan lima luhak, dinas kebudayaan dan pariwisata kab.rohul, 2012
S.S, Sumardi, potensi rokan hulu,pariwisata rohul, 2007
Syam junaidi , cerita rakyat rohul, pemerintah kabupaten rohul,2013
Proof.Drs.suwardi MS, Drs.Kamaruddin,M.Si, Asril.M.Pd, Sejarah Lokal,PT. Sutra Benta Perkasa,2014
Hamidy.U.U, Khazanah, Sedari. Melongok 99 Kisah Mengabadi, Bahana Mahasiswa, Bahana Press, Juli 2013

KELOMPOK ETNIS FIJI


FAKHRAN HIRZI/16B/SOA

Fiji memiliki penduduk sejumlah 944.720 orang. Rakyat Fiji dianggap sebagai rakyat yang paling cosmopolitan di antara negara-negara di Pasifik Selatan. Penduduk Fiji terdiri dari campuran India (56,2%), Fiji (49,9%), 'bagian' Eropa atau setengah kasta (1,7%), Eropa (0,7%), dan Kepulauan Pasifik lainya (1%). Istilah Eropa mengacu pada penduduk Fiji yang berkulit putih. Penduduk asli Fiji termasuk dalam ras Melanesia yang memiliki campuran darah Polynesia yang mendiami pulau-pulau bagian timur, namun jarang ditemukan di pulau-pulau Fiji bagian barat. Hal ini dikarenakan banyak penduduk asli Fiji yang melacaki keturunan mereka, sampai sebelas generasi atau lebih, dari orang asing yang berlayar dari jauh dan menetap tinggal membentuk kelompok-kelompok kecil. Pengaruh Polinesia yang kuat, termasuk dari segi fisik maupun budaya, disebabkan karena orang-orang Tonga yang tinggal di Fiji selama bertahun-tahun dan menetap secara permanen. Fiji bagian Timur pun merupakan perbatasan diantara dua aliran migrasi, Melanesia dari barat dan Polynesia dari timur, bertemu dan berbaur.
Melanesia memiliki karakteristik pendek dan berkulit gelap dengan rambut fuzzy. Sementara Polynesia cenderung tinggi dan kekar, kulit terang dan rambut lurus. Pembauran dua ras tersebut yang membentuk rakyat Fiji dengan tipe fisik demikian, menyebar dari orang-orang Lau, dengan kulit terang dan tinggi, hingga Kai Colo (penduduk bukit) yang bercirikan kulit gelap, pendek, dan berhidung pesek. Secara budaya perbedaan tidak terlalu jelas, namun organisasi sosial sangat berbeda antara suku-suku dari timur dan barat.
Sementara orang Fiji-India dapat dibagi menjadi dua kategori budaya yang diperkuat oleh perbedaan fisik. Mereka yang dari utara India - 'Calcuttas', atau 'Calcutta Wallah' - berasal dari Bengal, Bihar dan Uttar Pradesh melalui titik imigrasi dari Calcutta dan berbicara bahasa Hindustan pedesan. Kelompok kedua adalah 'Madrassis', yang umumnya memiliki kulit yang lebih gelap dan tidak memiliki fitur tajam dari orang-orang dari utara. Mereka dari Madras, Malabar, North Arcot, Vizakapatnam dan Tanjore di India selatan dan berbicara Tamil, Telugu dan Malayalam. Dari amalgam ini budaya 'Fiji Hindi' telah menjadi lingua franca Fiji-India. 
Bangsa Eropa di Fiji mulai ada pada awal abad ke-19. Mereka mencoba untuk hidup dengan penduduk asli lokal. Permintaan untuk kapas di Eropa yang disebabkan oleh Perang Saudara Amerika dan keyakinan bahwa Fiji akan dianeksasi oleh Inggris membawa pengusaha dan perkebunan, dan pada 1870 penduduk Putih di Fiji terus bertambah. Pemukiman Eropa yang utama adalah di Levuka karena merupakan pusat pelabuhan dan perdagangan. Namun setelah merdeka pada tahun 1970, banyak orang Eropa meninggalkan Fiji dan hijrah ke Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat. Hingga hari ini jumlah penduduk Eropa di Fiji sekitar 4200 orang.
Beda lagi halnya dengan bangsa part-Eropa, yang juga dikenal sebagai kai loma, adalah kelompok budaya yang khas di Fiji. Banyak keturunan Australia, Amerika atau Eropa yang berkulit putih di Levuka, di perkebunan kelapa terisolasi dari Vanua Levu atau di pulau-pulau terluar dari Fiji selama abad ke-19, dan menikah dengan penduduk lokal Fiji. Salah satu keluarga yang ras ini yang paling terkenal adalah keluarga Whippy, keturunan dari David Whippy, seorang pelaut Amerika yang datang ke Levuka pada tahun 1824. Pada 1881 ada sekitar 800 ras part-Eropa, saat ini ada sekitar 13.800. Kelompok part-Eropa berbicara bahasa Inggris, namun juga paham bahasa Fijian, namun tidak terlalu lancar. Terkadang kelompok ini mencampur bahasa Inggris-Fijian untuk bahasa sehari-hari. Selain kelompok-kelompok yang telah dijelaskan, juga ada bangsa China, Polynesia, dan kelompok etnis lainnya.
Kebiasaan bangsa Fiji menceminkan kesopanan maksimal dan sangat menghormati tamu. Penduduk Fiji kaya akan budaya, kesenian, dan upacara adat. Meskipun dari hari ke hari penduduk Fiji termodernisasi karena pengaruh negara-negara tetangga di Pasifik, Eropa, dan Asia, namun mereka masih memegang teguh budaya asli mereka. Penduduk Fiji tergolong terbuka dengan tamu karena orang-orang Fiji adalah yang paling ramah di dunia, apalagi dengan orang asing yang menghormati adat dan budaya mereka (www.tourismfiji.com). Orang Fiji juga memiliki banyak upacara tradisi dan kebudayaan, seperti Lovo, Meke, dan Yaqona. Dalam upacara penduduk Fiji terdapat banyak makanan, musik, dan tarian-tarian rakyat. Sementara hasil konsensus tahun 2007, penduduk Fiji menganut agama Kristen Protestant 55,4%, Hindu 27,9%, Katolik Roman 9,1%, Muslim 6,3%, Sikh 0,3%, lainnya 0,7% (www.cia.gov). Sebagai bangsa yang multi-etnik, terdapat banyak pengikut agama-agama besar. Di Fiji terdapat banyak sekali gereja Kristen, masjid, kuil Hindu dan Sikh.
KUDETA MILITER AKIBAT KONFLIK ETNIS DI REPUBLIK FIJI PADA TAHUN 1987-1990
Oseania merupakan sekumpulan pulau-pulau yang berada di wilayah lautan yang berada pada kawasan samudra pasifik. Terdapat banyak pulau yang membentang di kawasan samudra pasifik ini. Semenjak bangsa barat datang, pulau-pulau tersebut menjadi wilayah kolonisasi. Tumbuh beberapa negara persemakmuran dari beberapa pulau-pulau tersesbut. Dari beberapa negara yang telah merdeka, sistem kenegaraannya mengikuti sebagaimana negara yang memerdekakannya. Konflik-konflik dalam negri juga sering terjadi dan memiliki kaitan erat dengan kekuasaan serta politik. Salah satu negara yang sampai sekarang sering terjadi konflik yaitu Republik Fiji.
Republik Fiji adalah sebuah negara kepulauan di selatan Samudra Pasifik, di sebelah timur Vanuatu, sebelah barat Tonga, dan sebelah selatan dari Tuvalu. Fiji memiliki 322 pulau, 106 di antaranya berpenghuni. Selain itu ada pula 522 pulau kecil. Kedua pulau terbesar adalah Viti Levu dan Vanua Levu yang penghuninya meliputi 82% dari keseluruhan penduduk negara ini. Nama Fiji adalah sebuah kata kuno dalam bahasa Tonga untuk kepulauan itu, yang pada gilirannya berasal dari nama dalambahasa FijiVitiAda tercatat bahwa Fiji ditemukan oleh penjelajah Belanda Abel Tasman ketika ia berusaha  menemukan Benua Selatan Besar pada 1643. Namun baru pada abad ke-19 orang-orang Eropa itu tiba di kepulauan ini untuk menetap di sana secara permanen. Kepulauan ini jatuh ke tangan Britania Raya sebagai koloni pada 1874.
 Fiji merupakan negara persemakmuran dari negara Inggris. Republik Fiji mendapatkan kemerdekaannya pada tanggal 10 Oktober 1970 dari negara Inggris. Pada tahun 1987 terjai kudeta militer di Fiji. Kekuatan militer tidak pernah setuju bahwasaannya pemerintahan akan di dominasi oelh orang-orang indo-fiji
(Komandoko, G. 2010: 325). Pada tahun 1987 militer menjadi basis kekuatan yang besar, sehingga mampu melakukan kudeta atas ketidak setujuannya terhadap dominasi orang-orang indo-fiji dalam pemerintahan. Hal ini si karenakan apa bila terjadi dominasi oleh masyarakat indo-fiji akan rentan terjadi diskriminasi terhadap penduduk asli Fiji yang sudah lama menetap di republik tersebut.
Pada tahun 1874, kepulauan ini jatuh ke tangan Britania Raya sebagai koloni. Pada pemerintahan Gubernur Sir Arthur Hamilton-Gordon tahun 1876 mengeluarkan kebijakan yaitu melarang penjualan atas tanah kepada masyarakat non pribumi Fiji, yang pada saat itu sekitar 83% dari daratan Fiji dimiliki oleh pribumi Fiji.
Kebijakan ini terus berlanjut dan susah untuk dimodifikasikan.penguasa kolonial kemudian membangun ekonomi gula (60% ekspor) dan di tahun 1878 kolonialis Inggris mengimpor tenaga kerja dari India untuk mengelola perkebunan tebu. Efek dari imigrasi ini menciptakan suatu polarisasi kesukuan yang telah membuktikan secara kultural dan politis menantang ke arah Fiji modern yang kemudian dikenal dengan sebutan etnis Indo Fiji, etnis ini tidak diberikan hak kepemilikan atas tanah oleh pemerintahan Fiji. Namun etnis Indo Fiji memproduksi lebih dari 90% gula dan mendominasi industri gula serta pariwisata yang menjadi andalan ekonomi Fiji dan populasi mereka berkembang mencapai 44% dari seluruh populasi Fiji.
 Sebelum imigran tersebut di bawa masuk ke Fiji, pihak British terlebih dahulu akan memberi penerangan berkenaan dengan kontrak tersebut kepada semua buruh yang ingin bekerja di Fiji. Hal ini penting untuk membekali buruh ini  agar memahami setiap syarat yang terdapat di dalam kontrak tersebut dan juga untuk mengantisipasi terjadinya masalah yang mungkin wujud di kemudian hari. Setelah  itu, buruh-buruh tersebut didaftarkan di bawah bidang kuasa majistret tempatan. Semua imigran itu akan menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum berlayar ke Fiji. Sistem kontrak ini masih diguna pakai sehingga tahun 1916 yang menyaksikan seramai 60,537 orang buruh India telah dibawa dalam tempoh tersebut. Buruh-buruh ini diperoleh dari sekitar negara India yang terdiri daripada latar belakang, keturunan, kasta, agama seperti Sikh, Hindu dan Muslim serta tidak terkecuali bahasa yang berbeza. Dikatakan, kira-kira 85 peratus daripada jumlah yang bermigrasi ke Fiji  adalah beragama Hindu. Selain melalui sistem kontrak, ada juga orang India yang bermigrasi ke Fiji atas inisiatif sendiri dan tidak melalui sistem tersebut walaupun pada sebelum sistem kontrak tersebut dimansuhkan (Amey. 2009:--)
 Setelah mendapatkan kemerdekaannya, pemerintahan kemudian di dominasi oleh Ratu Kamisese Mara dari Alliance Party yang mendapat dukungan dari pemimpin tradisional Fiji. National Federation Party (NFP) yang merupakan partai saingan Alliance Party dalam parlemen, adalah perwakilan dari masyarakat Indo Fiji. Dalam pemilu pertama pada bulan Maret 1977, NFP memenangkan suara mayoritas, tapi pemerintahan tersebut mengalami kegagalan karena masalah internal, yaitu masyarakat asli Fiji tidak menerima kepemimpinan dari etnis Indo Fiji, selain itu krisis konstitusi mulai berkembang.
Munculnya Nation Federation Party yang diketuai oleh A.D Patel telah memberi peluan kepada masyarakat indo fiji untuk campurtangan dalam politik Fiji sehingga mayoritas partai di tiadakan oleh mereka. Keadaan ini telah menambah ketegangan AP yang diketuai oleh ratu Sir Kamisese Mara yang mendapat sokongan dari masyarakat pribumi, orang Eropa dan Etnik lain.  Kedua partai tersebut pada dasarnay sangat sulit untuk di satukan. Namun semenjak Inggris memberikan kemerdekaannya memaksa keduannya untuk berkompromi. Dari hasil dewan senat masyarakat Fiji tetap sebagai penguasa namun Dewan Pewakilan di dominasi oleh Indo-fiji (Foong & Bee.--:))
A. D Patel memainkan peran penting dalam menjaga hak masyarakat Indo-Fiji itu sendiri. Sepanjang keterlibatannya dalam politik negara Fiji, dia pernah memenang pemilihan Raya pada tahun 1968 dan ini sekaligus membawa partai NFP mulai bepengaruh di Fiji, terutama sekali pada masyarakat indo-fiji. Pada kurun waktu 17 tahun semenjak kemerdekaan, tumpuk pemerintahan di kuasai oleh masyarakat pribumi. Namun selama itu pula, secara nyata tidak sama sekali kekuasaan di pegang sepenuhnya oleh pribumi. Pendominasian masyarakat Indo-fiji terlihat pada tahun 1977 yang mana indo-fijian telah memenangi kursi dalam Dewan Perwakilan yang di awali oleh Partai NFP di bawah Sidiq Koya tetapi gagal membentuk sebuah kerajaan karena tidak di persetujui oleh masyarakat pribumi (Foong & Bee.--: 10-11)
Awal dari terjadinya kudeta 1987 yang dilakukan oleh militer akibat dari kebijakan Bavadra yang  telah bertindak dengan membentuk kabinet baru yang hanya diwakili oleh lima orang wakil Fiji dan selebihnya diwakili oleh orang Indo-Fiji seramai tujuh orang. Kudeta ini terpaksa dijalankan sebagai satu usaha untuk melindungi sistem tradisi yang seharusnya dipegang oleh etnik Fiji serta menjamin status quo penduduk asal Fiji itu sendiri. Malah bagi pendapat elit Fiji, kudeta ini juga harus dilakukan untuk menghentikan penguasaan dan penyerapan etnik Indo-Fiji ke dalam budaya Fiji. Kudeta ini bukan saja dilakukan oleh peribumi malahan angkatan tentera dan pasukan polis.
 Bulan Mei 1987, merupakan saat-saat bersejarah dan pada masa yang sama merupakan ulang tahun Ratu Mara ke-67 tahun. Sementara Indo-Fiji pula memperingati peristiwa kedatangan pertama bangsa India ke Fiji pada 108 tahun lalu pada saat Jai Ram Reddy meletak jawatan sebagai ketua NFP dan sebagai ahli parlemen. Bulan ini juga amat penting bagi Rabuka kerana disebabkan pembentukan kerajaan baru, awalnya dia mencari kerja baru yang tidak berkaitan dengan ketenteraan. Dua hari sebelum proses kudeta dilakukan Rabuka telah ditemukan dengan pesuruhnya namun, Rabuka menyatakan keinginan untuk menukar kerja kerana tidak yakin dapat bertahan dan memberi sokongan kepada kerajaan pada masa itu. Sementara itu, tiga hari sebelum kudeta iaitu 11 Mei, tentera Fiji telah dijemput untuk menyertai "skill at arms" yang dilancarkan oleh Tentera Australia dari 11 hingga 15 Mei sebagai persediaan ulang tahun ke-200 Australia. Namun begitu, Rabuka tidak menghadiri kerana melakukan persiapan kudeta (Amey.2009--)
Pada hari rampasan kuasa, komander tentera yang bernama Brigadier Ratu Epali Nailatikau, pegawai tertinggi Ratu Mara berada di Australia. Pasukan yang telah dibentuk oleh Rabuka terdiri daripada etnik Fiji, termasuk ahli-ahli Taukei dan beberapa ahli kabinet yang terdiri daripada etnik Fiji. Rabuka telah menetapkan tiga individu penting dalam dokumen kudeta yang dikenali sebagai "Operator Order" iaitu William Sutherland, Ratu Mosese Tuisawau dan Tevita Fa. Sutherland sangat berpengaruh dalam Labour Party yang kemudian menjadi Setiausaha tetap Perdana Menteri Bavadra. Pada pandangan Rabuka, Sutherland merupakan penggerak utama strategi kerajaan campuran dalam pilihan raya manakala Ratu Mosese Tuisawau selalu menimbulkan masalah terutama berkaitan dengan polisi-polisi tanah. Beliau merupakan ahli National Federation Party (NFP) sehingga meletak jabatan sebagai Presiden Fiji National Party (FNP) pada Oktober 1987 (Amey.2009:--).
Pada tanggal 14 Mei, Rabuka membuat pernyataan bahawa dia telah berhasil mengawal kerajaan dalam tumpuk kekuasaan, membentuk kembali pasukan polis, menggantung Perlembagaan Fiji dan sistem kehakiman negara serta memastikan agar para peguam merangkap menjadi satu dalam perlembagaan baru untuk memastikan politik didominasi oleh etnik Fiji dalam negara mereka sendiri. Pengumuman tersebut membuatkan sebahagian etnik Fiji berkumpul di bangunan kerajaan untuk meraihkan rampasan kuasa itu. Rentetan daripada keadaan ini, terdapat khabar angin yang menyatakan bahawa sesetengah Indo-Fiji mula meninggalkan bandar (Amey.2009: --)
Kerajaan Bavadra hanya  mampu bertahan selama enam minggu sebelum dijatuhkan oleh Rabuka. Untuk kali pertama pihak tentera ikut campur  dalam hal  politik Fiji melalui pembentukan kerajaan baru Fiji. Rabuka mengambil tindakan dengan perlahan-lahan dan berhati-hati dalam merombak perlembagaan bagi memastikan perpaduan etnik Fiji sama ada di dalam atau luar parlemen. Oleh  karena itu, pembangunan selepas kudeta Mei 1987 dianggap bagi menyatukan komuniti Fiji terutama di antara timur dan barat. Propaganda mengenai isu ras merupakan faktor utama di sebalik penggulingan atau kejatuhan parlimen malah ia juga merupakan kesan penting terhadap alasan kudeta. Seperti yang dapat dilihat, ianya merupakan syarat rasional daripada penjelasan ras dan akibat keperluan untuk mempertahankan kepentingan etnik Fiji.
Setelah situasi tidak menentu selama tiga tahun, akhirnya Rabuka menetapkan konstitusi baru yang sangat diskriminatif, karena antara lain melarang orang India di Fiji untuk menduduki jabatan penting pemerintahan. Rabuka menunjuk mantan gubernur jenderal di zaman kolonial sebagai presiden republik. Tekanan dari berbagai pihak, termasuk lembaga keuangan internasional dan donor yang sangat berpengaruh terhadap ekonomi Fiji. Pada tahun 19-94 akhirnya Rabuka membentuk Komisi Peninjau Konstitusi yang dipimpin oleh mantan gubernur jenderal Selandia Baru, Sir Paul Reeves, dan beranggotakan wakil dari dua kelompok politik utama di Fiji. Tugas mereka adalah memberi usulan untuk mengubah konstitusi 1990 yang diskriminatif 

DAFTAR PUSTAKA
         Amey.2009.CatatanSejarahFiji,(online),(http://coretansejarah.blogspot.com/2009/11/fiji.html), diaskes pada tanggal 14 november 2009.
         Naruk, F.2 September 2014. Konstitusi Fiji. Cidadaun hlm, 7.
         Foong & Bee.--. Masyarakat India Dalam Pembentukan Nasion: Perbandingan Antara Fiji Dan Malaysia.
         Komandoko, G. 2010. Ensiklopedia Pelajar dan Umum. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
         Wikipedia.--. Fiji, (online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Fiji